Tak pernah mengira aku akan
tersenyum kali ini sementara hati menahan satu gejolak dalam hati. Aku tersentuh
melihat jemari tangan yang mungil, lengannya lemas tak berdaya, wajahnya
menempel di dada nenek, dan matanya tertuju pada aku karena aku yang duduk
berhadapan dengannya di sini. Angkutan umum yang telah mengukir satu sejarah
padaku. Dia sedang dalam gendongan sang nenek yang tiap ada orang yang
berkomentar tentangnya, nenek akan menciumnya. Ketika ia mendengar kritikan
orang, ia akan tersenyum. Dia mengerti apa yang kami bicarakan, rupanya. Dan,
ketika ku lap liur yang menetes dari bibir yang tak sempurna itu, ia menunduk
dan tersenyum. Iya, dia sedang malu-malu padaku. Tantenya bilang, aku baik
karena mau membersihkan liurnya dengan jariku sendiri tanpa alas. Aku bilang,
karena aku kakaknya tante. Tante tentu saja tersenyum. Aku meringis, menahan
haru.!
“namanya siapa,tante?”
“Putra, nak”
“Wahh.. Putra, kamu mau kemana?
(sambil mengelus-elus tangannya yang mungil)”
“Hehehe.. Mau ke Maros Nakk.
Jalan-jalan ke rumah keluarga” Kata Tantenya.
“Tante, lihat. Dia tersenyum
padaku” Kini aku menyentuh wajah suci nan bersihnya. Aku sepertinya jatuh hati
padamu, Putra.
“Dia malu tiap kali ada anak
gadis yang berbicara tentangnya”
Dia tahu, aku anak gadis yang
kini sedang berbicara tentangnya pada tantenya. Tapi, aku bertanya-tanya, ada
apa dengannya? Kenapa keadaanya seperti dia sedang menikmati buaian yang takkan
pernah berkesudahan? Aku ingin bertanya tante, tapi aku tak tahu harus mulai
dari mana.
“Dia kenapa, Bu?” Tanya salah
satu Penumpang.
“Dia.. Dia seperti inilah
yang Ibu liat. Dia tidak normal” Tantenya menjelaskannya dengan hati-hati meski
ku tahu dia mencoba menyembunyikan rasa sakit di hatinya, melihat ponakan yang
harusnya kini bermain riang dengan anak-anaknya.
“Tidak, Bu. Dia normal kok.
Dia hanya sedang menjalankan tugas dari Allah, tetap berbaring agar Allah bisa
menjaganya dengan tanganNya sendiri” Aku menyerangi kata-kata berat tante
tentang Putra.
“Ya, benar Nak. Karena penyakit
tulang yang dokter bilang itu, ia mengalami keadaan seperti ini. Hanya berbaring
saja kalau di rumah, melihat para sepupu-sepupunya berlari di sekitarnya. Tersenyum
ketika ada yang menjenguknya, ketika kami mencoba berbicara padanya. Tapi,
itulah dia. Menghibas lalat yang mengganggu wajahnya saja ia tak mampu. Ia malah
hanya tetap tersenyum menahan geli di wajah yang di gelitik lalat. Dia hanya
bisa menunggui kami ketika punya waktu baru bisa bermain dengannya, nak. Ibunya
hanya dirumah tanpa suami…”
“Tanpa suami, tante?” Aku
benar-benar tersentak kaget. Aku memotong pembicaraan tante pun dengan setengah
sadar.
“Iyya, nak. Tanpa suami. Sejak
lahir, Putra sudah di tinggal sang ayah. Entah sekarang di mana. Mungkin dia
sudah mati dan aku juga berharap ia sudah mati. Ayahnya lari dengan perempuan
lain, meninggalkan istri dan anaknya dengan sejuta beban, sakit, derita yang
harus mereka tanggung. Melihat keadaan Putra yang seperti ini, apalagi yang
bisa kami harapkan. Jika tak ada iman, mungkin bunuh diri sudah di lakukan.”
“Lantas, Putra biasanya makan
apa tante?”
“yahh.. Hanya bubur dan susu
nak.. apalagi?” tante menitikkan air mata.
Tapi, ada yang lebih
membuatku merasa tak mampu lagi membendung air mataku. Putra, menangis. Dia menangis.
Dia menitikkan air mata. Aku menghapus aliran air mata itu. Bersamaan dengan
air mata ku yang mungkin sebentar lagi aku akan bisa membasahi separuh baju ku.
“Dia tetap mendengar tante,
dia sepertinya tahu apa yang kita bicarakan”
“Ya, nakk. Dia mengerti
setiap detail yang kita bicarakan. Ketika berbicara tentang dirinya, tentang
kehidupannya, dia akan menangis seketika itu juga”
“Ya Allah, maafkan kakak ya
Putra. Maaf, karena sudah buat kamu nangis. Maaf karena kakak sudah buat kamu
ingat masa yang harusnya kamu buang. Tapi, gak papa, Putra. Inilah awal
persahabatan kita. Aku akan bisa semakin dekat denganmu dengan aku tahunya
kehidupan kamu. Usia Putra sekarang berapa? (aku bertanya seolah-olah aku yakin
Putra akan menjawabku. Aku berharap dia akan menjawabku walaupun MUSTAHIL
karena dia tidak bisa berbicara. Aku yakin, dengan tatapannya sekarang padaku
dia akan menjawabku. Aku yakin akan turun mukjizat dari Allah)”
“17 Tahun, nak.” Tante
menjawab pertanyaanku. Bukan Putra.
Aku menghela nafas yang
teresak-esak dan tertahan di tenggorokan. 17 Tahun?
“Dia sudah jadi laki-laki
dewasa, sudah kelas 3 SMA andaikan dia normal”
“Tidak tante, sekarang dia
juga sudah jadi laki-laki dewasa menurutku. Hmm, (kembali menatap Putra)… Kamu
17 Tahun, kakak sebentar lagi akan genap jadi 21 Tahun. Aku kakak kamu 4 Tahun,
Putra. Kamu sekarang aku nobatkan jadi adik baru ku. Mau?” Putra tersenyum malu,
dan kini ia menggerak-gerakkan kepalanya, dan menurut tantenya ia kegirangan. Aku
kini kakakmu, Putra. Kamu adikku, kamu Sahabatku. Kamu mengajari
ketidaksempurnaan yang mungkin kelak, kamu akan langsung berhadapan dengan
Allah tanpa harus mengikuti ritual semua manusia di dunia. "Putra, kakak mau bilang sama
kamu..kamu jauh lebih baik dari kakak.kamu lebih beruntung dari
kakak..kamu tdk harus mengikuti dunia ini..kamu tahu Putra?Dunia ini
kejam dekk..makanya kau tetaplah begini..biar aku,dan mereka saja yang
tetap menyayangimu".. Kamu itu Istimewa, Putra.. Karena kamu, Suci.
Karena kamu, Putih. Karena kamu, Putra.
Dan kini, kamu menjadi
Putra-ku..!!!
Terima Kasih, Putra telah
tersenyum padaku…!!!