Kamis, 28 Maret 2013

Menuju Sarjana #Part 4 *Ceritaku di Senin Pagi*

di Maret 28, 2013 0 komentar


Di gazebo MIPA, orang menamai tempat ini. Tempat tongkrongan mahasiswa yang sedang rehat dari dunia akademik yang menjemukan untuk sebagian orang. Tak terkecuali diriku. Entah kapan mulainya saya membenci tempat ini. Orang bilang, kampus adalah tempat terindah di masa penanjakan usia yang menuju kematangan. Baik fisik maupun mental. Saat pertama saja aku sudah lupa kapan aku jelasnya menjadi salah satu bagian dari mahasiswa itu.
Hanya saja aku memiliki 1 perbedaan dari para pencari Ilmu itu yakni aku bukan Mahasiswa Murni. Maksudnya, aku terdampar di Universitas ini karena kecolongan beasiswa. Soal yang harusnya ku konsentrasikan otakku di sana malah hanya ku gambari, menulis namaku dan berharap bel tanda test selesai segera berbunyi. Dari 50 soal, hanya 3 soal yang ku kerjakan. Tentunya dengan kemampuan otakku yang tak pantas di acungkan jempol.
Dan kembali lagi di gazebo MIPA. Di sini, lebih lanjut ku paksakan rasa malasku menginjak kampus ini untuk segera menyibukkan diri. Itu planning bersama kakak-kakakku yang juga sebagai teman-teman kelasku. Maklumlah, saya yang termuda di antara mereka. Aku menunggui mereka di sini, dengan mengetik kata demi kata. Merangkai kalimat demi kalimat. Ketika ku dapatkan yang tak sesuai, ku delete lah mereka. Lalu ketika aku lost, ku teguk lagi air minum di botol sebagai senjata pamungkasku ketika di kampus guna menahan rasa lapar. Uang yang di berikan hanya cukup untuk ongkos angkot 3x ganti. Maksudnya, dari tempatku berdomisili saya harus naik angkot menuju Sudiang atau Daya. Di sana saya akan turun dan kembali mengambil angkot lanjutan menuju Veteran dan berlanjut lagi menuju Parantambung begitupun ketika aku kembali ke rumahku. Perjalanan yang mewah. Mewah dengan rasa letih, mewah dengan hawa panas, mewah dengan berbagai macam bau badan, mewah dengan keringat, dan yang paling penting mewah dalam bersabar menghadapi MACET.
Di lantai gazebo ini, aku menginjakkan kakiku sambil menatap sepatu kucel plastic hitam yang penuh dengan debu. Aku sebentar menggerakkannya, mengayungkannya, dan sampai aku melihat tidak jauh ada 3 kawanan anak burung yang sedang mematuk-matuk lantai. Ku hentikan aktivitas ayunan kaki itu lalu melihat mereka. Kepalanya ia goyang-goyangkan sebentar, ke atas, bawah, kanan, kiri, ke bawah lagi, dan begitu lagi dan lagi.
Aku berbicara pada mereka, seperti orang tidak waras yang berbicara pada batu.
“Heii, bro. enak ya matuk-matuk lantai?” Aku terdiam dan tersenyum
Mereka masih saja mematuk dan menggeleng-geleng seperti pusing melihat diriku yang gila ini berbicara padanya.
“Heh, kamu tahu tidak. Saya kagum dengan paruhmu. Bahkan lantai sekeras itupun kamu tetap jajaki demi mencari sepotong makanan yang bisa di kunyah lidahmu. Apa itu tidak sakit dan ngilu? Oh, mungkin tidak. Kamu sudah terbiasa. Kakimu kecil sekali, namun kamu bisa berjinjit-jinjit kecil menuju tempat lain. Terus dan terus sampai ketika kakiku bergoyang, kalian dengan cekatan mengepakkan sayap dan terbang. Aku tahu kalian akan kembali lagi, karena di sini ada banyak potongan makanan dari para mahasiswa yang dengan mubazzirnya membuang makanan seperti lantai ini adalah tong sampah.
Kamu memiliki paruh yang kuat, kaki mungil yang lincah, mata lentik yang temaram. Namun, aku lebih tertarik pada SAYAPmu. Bisakah kau mengajariku terbang dari keterpurukanku? Mengajariku terbang dari keputusasaanku? Atau sekalian kau bawa aku terbang meninggalkan segala ketakutan-ketakutanku hingga yang tersisa hanyalah danau semangat yang luas membentang? Yah, memang itu tidak mudah. Tapi, aku berterima kasih. Terima kasih, karena kau mau terbang ke sisi jari manisku. Dengan itu, aku bisa memulai mengetik kalimat-kalimat ini tentangmu.”

Sabtu, 23 Maret 2013

"Track of Tortoise" Book

di Maret 23, 2013 0 komentar
Terinspirasi entah dari mana saya ini ketika membuat buku dari jahitan tangan ini. Tak memikirkan apapun selain 1 warna yang menurutku seni banget, "coklat". Ihhi..
Ketika melihat ada sisa lem, saya berpikir ingin menempel-nempel apapun itu.
Mencari dan mencari, namun saya lebih ingin menulis. Apapun itu. Pikirku.

Saya pun berpikir ingin menulis kisah bersama teman-teman di Kost dulu. Aksi menulis pun dimulai...
Dari kertas dan kertas.. Semuanya tertuang dalam kumpulan kertas yang menjadi sebuah buku, BAGIKU...Hihihi












Selesaii.
Simple.. Dari covernya, seolah yg buat adalah manusia hutan semacam Tarzan.
hahaha, but never mind. I like a jungle.

Cerita yg ku tulis tentang kisahku dengan sahabat-sahabatku di Al-hasan. Semuanya tertuang di sini. meski tak banyak,tapi ini mewakili setiap memory ku. :) 

Rabu, 20 Maret 2013

Qadiftara

di Maret 20, 2013 0 komentar
Kemarin, saya membuka HP mama'ku. Sistem kaccaki pun menjelma menjadi sebuah penemuan mengagumkan dan mencengangkan. Tak begitu "wah" hanya saja saya menikmatinya. Mungkin bagi mereka yang Alumni Ponpes Mangkoso tidak akan asing dengan nasyid ini. Namun, bagiku yang hanya alumni MA biasa, non-boarding (bahasa slanknya "Pesantren") menjadi begitu menikmati.

Awalnya, tak ada nama. Hanya Sound102 dengan size 288 kb. Saat ku tekan play button, maka mengalunlah sebuah gemangan nasyid yang merdu. Dari suara seorang anak Manusia yang menjadikan nasyid ini begitu menggema dan menyentuh. Ku tanya mama'ku, "Ini lagunya apa?" dan mama pun ikut mendengarkan lalu menyebutkan Judulnya, "Ooh.. Ini lagunya Mangkoso.. Qadiftara judulnya tapi orang sana na palempu ugi'na menjadi Qadittara' (dengan aleg bugis yang lincah)".

This is Qadiftara's Liryc..

Qadiftara lahu lana diinahu wal Islam
Yakufu jami'al adyanini bainal ummami
Kama qad syahidal lahu mamarul ayyam 
Falaa tujawwidzuu hududa Robbikum

Ahlan Wa Sahlam hai sinisiaji selleki
Pada laoni mai rionrong madecengewe
Kiangkalinga pangngaja pole ri kittae
Sarekuang mengngii kisalama matu

Nacaddio riona wanuae Mangkoso
Rimuka tellena tojang pero werona 
Sikola Ogamae ompokenna upe'e
Panggoncinna decenge patte'du'na labangnge
Ooo Puang teppodong manennunge llaoki 
Ajoppangenna sikola ogamae
Napucolli' tinulu napudau madeceng buana..
Aamiin

Mungkin, kurang lebih seperti itulah Lirycnya. Kalaupun ada kesalahan, mohon maaf. Ini hasil sms dari saudaraku, Ramla yang sedang nimba ilmu di sana. Plus juga dengan kondisi telingaku yang tidak memungkinkan untuk mendengar dengan jelas,hihihi.


Kamis, 07 Maret 2013

Menuju Sarjana #Part 3 (Memeluk Tangis)

di Maret 07, 2013 1 komentar
Dhruva, bagaimana kabarmu? Apakah kau masih saja menatapku dari kelamnya langit malam? Jika kau masih melihatku, tolong alihkan pandanganmu kali ini. Karena saya tak mau kamu melihatku dengan uraian tangis lemah tak bertenaga.
Bacalah saja tulisanku, agar kau tak harus melihatku menangis.

Senin kemarin Va, kampus kembali ku jajaki. Kepalaku masih sangat pusing. Kondisi kesehatan yang masih juga belum pulih. Saya dan Rudi kembali mengurus nilai kami yang masih saja mengapung tak jelas. Mungkin memang kesabaran sedang meminta kami untuk melayang bersama, berusaha menggapai garis finish dengan wajah penuh peluh dan air mata.
Kegagalan bersama kami. :(

Seperti anak kucing yang basah karena hujan, aku berjalan kembali setelah kegagalan itu menamparku lagi dan lagi. Sampai kapan aku bertarung denganmu PAK RUSLAN? Sampai kapan kau akan menjadi PENGUJI ku di dunia yang hanya sementara ini. Terlalu banyak keluhan yang ku terjemahkan dari bibirku karenamu. Sampai kapan Pak?

Tangisku pecah bersamaan dengan kesehatan yang kembali DROP.
Malam itu, saya kembali demam. Kepalaku berat seperti ada ribuan TON batu di dalamnya.

Kak Asiz Mustakim memberiku nasihat-nasihat. Terima kasih untuk semua itu.
Kak Asiz bilang, "kk anggap ki sbgai adik kandung kk sendiri jg sedih dgn apa yg ulfa alami".
Ya Allah, sungguh mulia hatimu kak. terima kasih ikut prihatin dengan masalahku.

Hanya ku minta 1, doakanlah adikmu yang lemah ini. Agar usahaku tetap tangguh, dan pundakku tetaplah kuat.


JADILAH KUAT, ULFA.. :(

 

Lyu Fathiah Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review