Jumat, 21 November 2014

Matahari kita, Nanti.

di November 21, 2014 0 komentar
Usia belum menjadi jaminan akan kedewasaan seseorang. Pengalaman pun demikian. Sebanyak apapun dia tak pernah pula menjadi jaminan akan memudahkan seseorang lebih bijak dalam bertindak. Semuanya tergantung sejauh mana Iman kita. Ah, harusnya saya tidak mengambil kata itu. terlalu religius sementara kali ini saya tidak sedang ingin mengatakan hal itu.
Isi kepalaku benar-benar ingin memuntahkan kejadian kemarin, Syah. Makanya saya membuat cerita ini.
"Kata pengantarmu seperti halaman buku, panjang. Jelaskanlah pada saya, supaya saya bisa menghemat waktu".
"Baiklah" lalu ku keluarkan sebuah buku keil berwarna biru tua. Agak kasar dan pita pembatasnya sudah mulai habis. Terlalu lama tersimpan dan terakhir ku buka kemarin semenjak setahun lalu saya tidak menggunakannya. 
"Bacalah" Kataku padanya.

Lalu ia, membukanya.
Ku perintahkan ke halaman terakhir.

Aku berhenti pada sebuah perlakuan. Kepalaku tertunduk. Isi dada-ku rasanya ingin meledak seketika. Kepalaku sakit dan ingin sekali aku menarik telinga-nya agar dia sedikit peka. Aku menangis dan kamu tak menyadarinya? Bagaimana selama ini kamu mengatakan kita sejiwa? Film itu? Segitu hebohnya kah?

"Maafkan saya, kak" dan kamu pun berbalik kepadaku.
"Ahh? Apaa?"
Bodoh. Apa dari-mu yang membuatku semakin ingin melakukan apa saja?
"Saya minta maaf. Saya tidak bisa lagi melanjutkan hubungan ini. Saya mau putus"
Meskipun ruangan bioskop gelap, namun saya masih mampu melihat ekspresimu. Kaget bercampur cemas. Tapi tak lama, saya tak mampu melihatnya.

Kamu menarik tanganku dan menggenggam-nya, erat!
"Nggak. Saya nggak mau. Saya tidak mau"
"Tapi saya mau. Terserah kakak mau apa tidak"
"Nggak, sayang. Nggak. Saya nggak mau"
Kita masih saling menarik-narik tangan, dan saya mau tetap putus. Bohong.

"Kita kembali saat kita sama-sama siap, untuk menikah"
"Nggak, saya ngga bsa. Tolooong. Saya mohon. Saya nggak mau. Saya akan tepati janjiku".

Aku-pun kalah.
Saya masih ingin bersamamu. Lebih dari selamanya.


"Apa maksudnya kamu meminta-ku membaca ini?"
"Agar kamu tahu, bahwa hati kamu masih menulis tentangnya"
"Dia?"
"Siapa?"
"Laki-laki yang selalu kamu sebut dalam do'amu"

Dia tidak mengerti.
Perlu saya jelaskan lebih?
Namun sayang, kita ini setubuh tapi tak mampu saling mengerti. Sudahlah!!!


R, T, U, Huruf atau Taqdir?

di November 21, 2014 0 komentar
Kata orang hukum Karma itu berlaku. Percaya atau tidak. Banyak yang mengiyakan, seolah ingin membenarkan apa yang di alaminya pun juga pernah ia lakukan pada orang lain. Mengapa demikian? Bukankah itu tidak konsekuen pada taqdir yang telah tertulis dalam Kitab Suci Manusia? Gak ngerti?

Maksud saya.
Misalnya saya menipu Rere, saya memberikan informasi yang salah padanya. Sehingga membuat Rere melakukan kesalahan dalam bekerja. Di waktu yang lain, saya mengalami hal yang sama. Saya di berikan informasi yang salah oleh orang lain. KARMA. Lalu, apa KARMA juga termasuk dalam Lauhul Mahfudz?

Lalu, karena misalnya, Bos memarahi saya dan memarahi adik saya, ini bisa di katakan apa? Pelampiasan yang bukan objeknya? Sifat turunan? Ataukah Hukum Alam? Berdosakah saya jika memang itu hukum turunan? Kan saya begitu karena di kasi begitu? Gak benar ya?

Memikirkan ini benar-benar terasa menjenuhkan. Seperti apakah hidup ini? Mengapa rasanya tidak ada kejelasan bahwa FAKTA itu benar-benar berasal dari apa yang terjadi bukan karena KARMA, HUKUM ALAM, atauka TAQDIR.

Ini metafora pemikiran yang semakin menyipit.
 

Lyu Fathiah Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review