Rabu, 30 Januari 2013

Cahaya yang Meredup

di Januari 30, 2013 3 komentar
Ketika mulutku semakin lama semakin deras menghujani istighfar, aku mulai menemukan ketenangan. Kesejukan demi kesejukan ku kejar, agar hatiku bisa sedikit lebih hidup. Kalau aku tidak begini, makin lama, hatiku akan benar-benar mati. Aku tak menginginkan hal itu meski bibirku selalu tidak menganggap itu penting. Ketika aku percaya akan keberadaanNya, aku semakin saja terlelap dalam ketakutan dan kebimbangan. Aku masih saja terus merasa telingaku mendengar suara-suara yang akan segera membunuhku. Lalu, aku akan terkungkung kembali dalam keterpurukan yang berkepanjangan. Sementara dadaku juga menanti akan sebuah ketenangan.
"Allaahhh.."Pekikku dalam tangisku. Aku menjerit semakin dalam. Aku memanggil Robb'ku dalam lirih suaraku yang berat dan terputus-putus.
"Bagaimana aku bisa menenangkan hatiku? Aku takut Kau meninggalkanku Ya Allah. Aku bimbang. Aku takut. Aku takut" Semakin lama semakin larut dalam kegalauan. Syukur aku tak pernah menggalaukan laki-laki seperti teman-teman remajaku. Aku hanya galau karena laki-laki tua tak berperasaan yang menyiksa masa depanku. Merenggut senyumku. Menanggalkan cita-citaku dengan paksa.
"Kenapa aku harus terlibat dalam pergolakan dunia pendidikan yang sulit begini?" Lagi dan lagi, aku memekik suara hati yang tercegat di leher.

"HARUSKAH AKU MATIKAN JIWAKU?" Putus asa benar.

Lalu? 
Apa yang harus ku lakukan agar hatiku bisa tenang? 


Cahaya harapan itu sedikit muncul menyusup di jendela hariku. Matahari seperti berpihak sebentar saja pada mataku yang sembab.
Tapi, tak lama.
Lalu, Cahaya itupun kembali meredup dan lama kemudian MATI.

Akupun membunuh nadi nafasku di dunia ini.
Aku akan mati bersama aliran darahku yang membeku.

Kalau pun nyawaku ikut mati, maka DIA (Dosen itu) yang pertama kali akan aku tuntut di akhirat kelak... 


Marilah wahai dunia kegelapan, genggamlah tanganku yang layu ini.. Genggamlah..

He Called me!!!

di Januari 30, 2013 0 komentar
Lama sekali.
Lama aku menahan tangis hati yang menyesakkan.
Sampai bagaimana lagi harusnya aku bertahan dengan gejolak hati yang di hempaskan.
Kau, bagaimana Top Killed in The world..

Sedikit lagi, aku akan benar-benar mati. T.T

DOSEN yang memuakkan.. :'(

Selasa, 29 Januari 2013

Dialah ILHAM

di Januari 29, 2013 2 komentar
Yuli memasuki Mushallah untuk melaksanakan sholat Dhuhur ketika seniornya masih berada di dalam sana. Jilbabnya masih basah karena air wudhu. Saat masuk, dia jadi pangling melihat sekumpulan senior perempuan yang duduk bergerombol tak jauh dari tempatnya berdiri. di keluarkannya mukenah putihnya lalu bersiap melakukan shalat. Namun ketika dia segera mengambil posisi, temannya Diana memanggilnya. Mengajaknya untuk ikut Pengkaderan salah satu organisasi. Sempat saja Yuli tertarik, namun dia minta untuk memikirkannya dahulu takut Ayahnya tak memberi izin. Setelah sholat dhuhur, seniornya yang kelihatan begitu lembut itu menyapanya.
"Yuli ya?" Tanyanya lembut. Semakin cantik dengan mukenah pink yang nyaris menutup wajahnya yang putih bersih.
"Iya, kak" Jawab Yuli sedikit agak segan.
"Ahh, gak usah kikuk begitu. Kakak cuma mau ngajakin kamu ikut Pengkaderan di sekolah kita besok. Ikut ya!!!" 
"Hmm, mau sih kak. Tapi, aku masih mikir-mikir juga. Takut Ayah ku tak memberikan izin" Seperti tahu betul bagaimana Ayahnya kelak akan memberikan reaksi ketika ia meminta izin.
"Insya Allah, di izinkan. Percaya ya" Kak Risma, begitulah seniornya itu di sapa sehari-hari oleh teman-temannya meyakinkan Yuli sambil menggenggam tanganya lembut. Sebuah kepercayaan yang teguh dari kakak yang penyayang.
Dari balik tirai mushallah, Yuli mendengar dari tadi sekumpulan laki-laki cekikikan entah apa yang mereka tertawakan dari tadi. Yuli tahu, di antara mereka ada Abbas, seniornya yang pernah menjadi pengisi waktunya, pengisi hatinya.
Sayup-sayup terdengar pula percakapan mereka meski tak terlalu jelas. Yuli yang sedang merapikan alat sholat Mushallah itu mendengar dengan jelas kalimat pedas yang di utarakan Abbas. Mungkin dia tidak mengira kalau Yuli masih di balik tirai itu. Yuli mempertajam telinganya, dan dia mendengar jelas Abbas bilang, "Yuli gak mungkin bisa ikut pengkaderan itu. Gua kenal sama dia. Anaknya manja dan cengeng banget" Seperti api yang membara, membakar segala apa yang ada di hati Yuli. Dia pun bertekad, meskipun Ayahnya tak mengizinkannya, dia akan tetap mengikutinya. Apapun itu caranya. Dia menghempaskan sajadah ke lantai dan kemudian meninggalkan mushallah dengan langkah cepat penuh amarah.

**** Pengkaderanpun di Mulai ****

Hari Pertama.
Yuli melewatinya dengan rasa penuh cemas. Bimbang. Inilah kali pertamanya dia menginjakkan kakinya di dunia organisasi. Berbagai macam stigma-stigma tentang tentang dampak negative dari organisasi pun menggelayuti pikiran polosnya. Dia menghela nafas beratnya ketika dia di tatap sepasang mata senior perempuan dengan mimik sangar dan menakutkan. "Mama, Yuli mau pulang" Jawabnya lirih. Namun, meski bejibun kesulitan Yuli dapatkan namun hari pertamapun terlewati dengan sukses. Tanpa kesulitan. Begitu kesimpulan Yuli.

Hari Kedua.
Pagi-pagi, Yuli sudah segar dan siap menerima materi pengkaderan. Kali ini dia berdekatan duduk dengan kak Risma. Hatinya sangat senang. Terang saja, dekat dengan kakak yang baik seperti kak Risma merupakan keberuntungan lain yang ia dapatkan. Sarapan pun datang, dan mereka di minta menghabiskan makanan yang seperti gunung itu dalam waktu 10 menit. Terang saja Yuli panik, namun dia bisa menghabiskan makanan itu meski perutnya seperti penuh dengan makanan hingga nafasnya pun kini bisa di hitung. Sesak sekali. Kak Risma tiba-tiba berdehem, dia memberikan ruang nafas tenggorokannya yang terasa tercekik. Yuli melihat makanan Kak Risma masih sangat banyak. Dengan refleks Yuli mengambil makanan itu dan menghabiskannya. Kak Risma merasa sangat berterima kasih padanya, dan sejak saat itu kak Risma pun selalu mendekatkan dirinya pada Yuli. Tak ayal kini mereka menjadi sosok sahabat. Duduk selalu sama, makanpun demikian, sholat pula begitu, bahkan tidurpun, mereka selalu bersama.

Hari Ketiga. 
Di hari ketiga ini, menjadi hari terburuk buat Yuli. Dia di hukum oleh seniornya karena telat masuk kelas. Tadi Yuli merasakan sakit di kepala sehingga membuat gerakannya sangat lambat. Dia meminta kak Risma ke ruangan duluan sebelum dia menenangkan pikirannya di WC. Hukuman pun di jalani, hingga nyaris pingsan karena harus berdiri dengan 1 kaki selama 3 jam tanpa ganti. Kak Risma menjadi sangat tidak berkonsentrasi, apalagi kak Arman. Dialah senior yang paling baik di mata Yuli. Senior yang tak pernah memarahinya. Senior yang selalu mentransferkan ketenangan dan kesejukan dari sorot matanya yang teduh. Yuli menjadi seperti tak sendiri di tengah kesulitan-kesulitan ini. Dia pantang untuk menangis, meski hatinya sudah sampai pada taraf ingin berteriak keras dan memecahkan lantai. Dia pantang mengeluh, meski tenaganya sudah sampai di ubun-ubun lalu kemudian retak berkeping-keping. Dia tidak mau membenarkan kata-kata Abbas. Dia tidak mau menjadi gadis cengeng seperti kalimat Abbas itu. Dialah tokoh utama dalam drama ini, dan dia tidak akan menjadikan dirinya tokoh yang di rugikan. Dia akan memenangkan kompetisi ketangguhan ini. Demi mentalnya. Demi harga dirinya.
Dari sisi kanan, seseorang menepuk pundaknya, "Kamu harus kuat. Keep smile" Katanya. "Siapakah dia? Aku tak mengenalnya" Tanya Yuli lirih. Laki-laki berkulit putih yang nyaris sama tinggi dengannya. Dia tersenyum pada Yuli yang sudah basah dengan keringat.

Hari Keempat.
"Kak Risma kenal dengan laki-laki yang memakai baju kaos bergaris-garis itu?" Tanya Yuli pada kak Risma di waktu ishoma. "Hmm, gak kenal. Tapi kakak sudah beberapa kali melihatnya kok. Kenapa?" Tanya kak Risma kembali."Gak papa. Yuli cuma mau tahu namanya".
Sebuah kejadian tak terduga, dia yang membuat Yuli penasaran menghampiri Yuli ketika ingin melangkah menuju tempat wudhu. Sebelum waktu maghrib itulah, Yuli tahu kalau namanya "Ilham" dan dia adalah instruktur bagian Remaja di pengkaderan ini. "Yuli mau sholat?" Tanyanya. Kak Risma yang ketinggalan langkah buru-buru menyamai langkahnya dengan mereka berdua. Sekilas Kak Ilham melirik kak Risma yang baru saja bergabung. 2 menit sepertinya kak Ilham menggunakannya hanya untuk menatap wajah itu dalam-dalam. "Kak Ilham, bisa minta tolong?" Tanya kak Risma. Ternyata kak Risma jauh lebih berani menyamai komunikasi ketimbang Yuli yang masih malu-malu. Anggukanpun mengakhiri percakapan itu.

Hari Kelima.
Konflik batin antara Kak Risma ke kak Ilham mulai nampak jelas. Yuli yang mengerti betul nuansa kikuk kak Risma setiap Kak Ilham di dekatnya menjadi seperti ikutan kikuk. Ingin sekali dia menjauh dari mereka berdua. Namun, kak Risma terlanjur menjadikannya sahabat satu-satunya selama pengkaderan ini berlangsung. Kak Arman mengerti betul posisi Yuli. Dia meminta Yuli datang di lantai 2 untuk menanyakan beberapa hal. Sejujurnya Yuli tidak mau, tapi karena saat itu kelihatan kak Risma ingin dekat dengan kak Ilham, maka dia punmemaksakan diri untuk menjauh jauh-jauhnya. Memang itu yang dia butuhkan.
"Kamu bilang sama Risma, kalau Ilham masih sulit membuka hatinya untuk perempuan lain" Kak Arman tak ingin basa-basi. Inilah yang harus dia lakukan secepatnya. Takut Risma terluka lebih dalam. "Ilham itu punya pacar yang sangat dia sayangi. Walaupun sudah menikah tapi hati itu masih di tempati perempuan itu. Jangan biarkan Risma semakin menyukainya". Yuli hanya bertanya pada mimiknya. Pada raut wajah yang berubah dari kak Arman. "Kenapa kak Arman ikut campur dan memusingkan hal ini?" Ini jugalah yang ingin Yuli katakan.
"Ntahlah Yul. Pokoknya jangan biarkan Risma menyukainya lebih jauh" Sambil menatap Yuli dalam-dalam, kak Arman menenangkan hatinya. Mengatur nafas agar tetap seimbang detakannya. Dia tidak mau terlihat kikuk juga di depan orang yang dia sukai pula.
"Kakak suka kak Risma?" Tanya Yuli.
"Haha, aku tahu kamu berpikir demikian. Tapi, saya sama sekali tidak menyukai Risma"
"Lalu? Apa urusannya dengan kak Arman? Mengurusi urusan orang lain itu bagian dari akhlak yang kurang baik. Pengurangan nilai pun akan kakak dapatkan dengan kebiasaan ini" Yuli yakin kali ini kak Arman patah kalimat. 
Dan, benar. Kak Arman hanya bisa diam.
"Yuli.. Saya mengurusi Risma bukan karena saya yang menyukainya. Tapi karena kamu yang sangat terlihat tidak nyaman. Kamu juga ikut merasa kikuk dengan pertikaian hati di antara mereka"
"Dan setidaknya aku tidak mengurusi mereka kak" 
Ilham tiba-tiba datang dari arah yang tak di sangka-sangka.
Menatap mereka berdua yang panik melihat dirinya. Mematung. Ilham menarik Yuli pergi. Tak mengerti alasannya, Yuli seperti terhipnotis mengikuti langkah Ilham.
"Kamu harus ikut campur Yuli. Kamu sudah terlanjur terlibat" Kata kak Ilham tiba-tiba.
"Kamu, harus membuat saya jatuh cinta dengan Risma".
"......."

Hari Terakhir.
Setelah kejadian kemarin, Yuli benar-benar bimbang. Dia tidak tahu harus menyikapi apa. Dia hanya mencoba sebisa mungkin menghindari kak Risma agar kak Ilham punya waktu banyak berdua dengan kak Risma. Pertahanan Kak Risma yang tak ingin pacaran pun patah. Dia resmi menerima Kak Ilham sebagai pacarnya semalam, setelah diskusi internal Anggota. Risma benar-benar terpukau dengan pribadi Kak Ilham. Meski dia telah melihat Kak Ilham merokok, tapi baginya, rasa sukanya mematahkan perasaan tidak sukanya pada benda bernama ROKOK itu.
Ketika acara penutupan, Yuli menjadi peserta terfavorit. Banyak yang menyukainya di karenakan dia melakukan segala hal dengan santai, tanpa risau. Bahkan saat di hukum pun, dia melewatinya dengan biasa. Dan? Kak Arman pun semakin suka. Benar. Semakin suka.
Tanpa di sangka, Kak Ilham memberi kejutan buat Yuli. Sebuah Jilbab biru di berikan. Riuh semakin riuh di ruangan mengakhiri kegiatan hari ini.

Tanpa di sangka, itulah akhir kisah dengan Kak Ilham dan Kak Risma. Mereka ternyata putus. Kak Ilham menghilang. Entah kemana dia pergi. Lalu?

Hari ini, Yuli bertemu dengannya. Dengan senyum yang masih tertata rapi seperti 6 Tahun lalu. Bedanya, kini ada jenggot tipis di dagu kak Ilham. Wajahnya masih segar, masih putih. Masih manis. 
"Lama sekali kita baru ketemu" 
"Hmm, iyya kak.. Kak Ilham kenapa semakin kurus kak?"
"Hehehe.. Sibuk dek" 
"Sibuk kuliah?"
"Bukan"
"Lalu?"
"Sibuk melupakan Yuli. Dan alhamdulillah berhasil"
"Hah? Maksud kak Ilham?"
"Kamu sudah sarjana, sudah tahu maksud kakak. Tidak perlu risau. Kakak sudah bisa melupakan Yuli. Anggap saja ini pegakuanku yang sangat terlambat. Yuli jalan-jalan ke rumah kakak, nanti kakak kenalkan dengan anak kakak"
"Kak Ilham sudah menikah? Alhamdulillah wasyukurillah"
"Hmm, iyya."
"Insya Allah kak. Salam buat Istri kakak ya"
"Insya Allah. Jangan lupa kirimkan Fatihah buatnya juga ya?"
Mata Yuli membelakak. Artinya?
"Kakak pergi dulu. Rumah kakak masih di Pesantren Firdaus dek. Datang ya. Kakak tunggu. Asyifah juga menunggu. Nama anak kakak"
"Iii..iiiyyyaa kak.."

Dan, itulah kisah tentangnya. Tentang ILHAM. Mengilhami hati yang lemah penuh gundah, penuh derita. Begitulah ILHAM yang mengilhami Cinta menjadi Daun Surga yang bercahaya. Menggetarkan Hati. Menggetarkan Jiwa.

Senin, 28 Januari 2013

Simfoni Abu-abu

di Januari 28, 2013 3 komentar

Farika masih duduk di kelasnya setelah bel tanda pelajaran usai itu berdering. Teman-temannya sudah meluncur untuk mengisi bahan bakar tubuh mereka guna mempersiapkan tenaga ekstra untuk pelajaran selanjutnya. Tangannya masih saja mengetik tombol keyboard. Menyusun kalimat demi kalimat menjadi paragraf indah. Mengisyaratkan makna yang dalam sambil kepalanya sedikit-sedikit menggeleng jika dia menemukan sendiri kesalahan dalam menyusun kalimat-kalimatnya. Kacamatanya yang sudah sedikit longgar terkadang meluncur ke hidungnya yang pesek, tiba-tiba hapenya bordering. Sebuah sms dari Risma, sahabat karibnya.
Farika, ke kantin sekarang. Cepet cepet!!!”
Farika merasa sangat malas meskipun demikian, dia masih saja melangkahkan kakinya menuju kantin yang sangat ramai. Kaget, melihat para siswi perempuan mengerumuni seorang pria yang memakai kemeja biru muda. Dari penampilannya, sepertinya dia seorang Mahasiswa. Entah apa kegiatannya di sini, Farika tak menghiraukannya. Ia lalu mencari keberadaan Risma.
Far, kamu lihat cowok itu kan? Dia akan mengajar di sekolah kita. Manis kan? Waahhh”
Kamu ngajakin saya ke sini hanya untuk melihat makluk itu? Sia-sia banget langkahku Risma. Ah, udah. Aku mau ke kelas dulu” Farika lalu melangkah meninggalkan Risma sendirian. Namun, Risma buru-buru mengejar Farika yang lebih tinggi darinya itu. Badannya yang proporsional itu tak begitu kelihatan karena seragam sekolah Farika yang sengaja di besarkan. Dialah anak Paskibra sekolah satu-satunya yang memakai jilbab.
Keberadaan Mahasiswa PPL akan menjadi pewarna baru di tengah-tengah seragam abu-abu. 8 orang dari mereka, hanya 3 orang yang laki-laki. Salah satunya adalah Mahasiswa yang beberapa hari yang lalu memakai kemeja biru. Hari pertama pun di mulai dengan sukses, dan kelas Farika-lah yang akan menjadi kelas yang akan di ajar salah satu dari mereka. Meskipun bukan Mahasiswa yang memakai kemeja biru itu. Dia di tempatkan di kelas XII.5, kelas yang paling pojok. Kelas yang terkenal dengan siswanya yang nakal. Siapa kira, kalau mahasiswa itu bisa mengomandoi anak-anak itu? Itu hebatnya.
Saat pelajaran sedang berlangsung, Indra, mahasiswa kemeja biru mendapat sms kalau Kiki kecelakaan. Teman PPL mereka. Dia pun buru-buru mencari temannya yang lain. Kebetulan teman akrabnya, Dedi ada di kelas Farika. Jauh sebenarnya, mengingat kelas Farika ada di lantai 3 sekolah. Naiklah dia.
Tok..Tok…tokkk
Assalamu alaikum” Indra mengucapkan salam sebelum masuk ke ruang kelas. Seketika semua mata tertuju padanya. Mata Risma lah yang paling berbinar.
Waalaikumsalam” Jawab mereka bersamaan.
Sorry ganggu, Ded”
Gak kok. Sini masuk, kenapa?” Kata Dedi.
Kiki Ded, dia kecelakaan. Sistah yang sms gue barusan. Mereka barengan katanya, tapi Sistah gak papa. Kiki aja yang agak parah, bahkan dia pingsan. Kebetulan dia sekarang di daerah yang agak sepi katanya” Jawab Indra panik.
Farika yang pernah mengikuti pelatihan Pertolongan Pertama yang di adakan Dinas Kesehatan itu sedikit terpanggil hatinya untuk membantu dan mencari tahu.
Kak Sistah bilang gak dia di jalan mana tepatnya?” Tanya Farika tiba-tiba. Indra menoleh ke arah suara. Melihat gadis berkacamata itu, Indra merasa yakin kalau siswa ini pasti akan membantu.
Di jalan Tupai, katanya dek” Jawab Indra.
Aku tahu daerah itu. Saya tiap hari melewati jalan itu kalau ke sekolah. Memang di sana gak ada rumah kak, yang ada hanya kebun yang membentang ke penjuru lahan.”
Kamu bisa nemenin kami? Nanti kami yang tanggung jawab kalau kamu di marahin kepala sekolah atau guru”
Oke”
Maka meluncurlah mereka menuju tempat itu dengan mengendarai mobil Kepala sekolah. Mereka membawa Kiki ke RS. Baru sekitar pukul 14.23 siang Indra mengantar Farika kembali ke sekolah. Ternyata teman-temannya sudah pada bubar. Tasnya sudah di titip Risma di ruang guru sehingga Farika bisa segera kembali ke rumah. Indra yang merasa dekat dengan Farika sejak kejadian Kiki kecelakaan itu, selalu mengajak Farika belajar bersama teman-temannya. Dari ekstra less ini Indra terpikat dengan siswi berkacamata itu.
Senin pagi, setelah Upacara berlangsung Farika mendapat sebuah kotak di laci mejanya. Isinya adalah sebuah album yang berisi semua foto-foto Farika. Sontak Terpukau.
Kak Indra suka sama kamu, Far?” Tanya Risma kaget.
Gak tahu. Ini maksudnya apaan motret saya kayak gini?”
Eh, ada suratnya Far” Jawab Risma cekatan melihat pucuk kertas di ujung album yang berwarna kuning itu.
Surat? Jadul amat sih!!!”
Farika lalu membuka lipatan surat itu.
SELAMAT ULANG TAHUN, Farika.
Semoga kamu panjang umur ya.
Maaf tak sempat memberikanmu secara langsung karena aku gak mau melihat tatapan dinginmu menerima kado yang telah ku siapkan sejak minggu ke-3 aku di sini. Albumnya terlalu berharga untuk di balas ekspresi dingin, hehehe. Bercanda.
Aku tunggu kamu di Universitas.
Sebelum aku ninggalin sekolah ini, aku memang mau ngasi ini.
Dan juga aku mau nyampein salam dari Sidiq.
Dia suka sama kamu katanya!!!
Sekali lagi SELAMAT ULANG TAHUN
Farika hanya bisa saling menatap dengan Risma. Kaget dengan kalimat terakhir itu. Diam-diam mereka justru berharap Indra yang mengutarakan perasaannya. Namun, semuanya terbalik dengan dugaan dan harapan.
Oke. Kita sama-sama simpan rapi perasaan kita masing-masing. Jangan sampai kamu tahu dan aku semakin sadar kalau ikut tergugah denganmu” Komitmen Farika di hati.


Jendela Rabu

di Januari 28, 2013 0 komentar

Ada yang tahu tidak kalau selama ini, di dunia ini ada seorang manusia yang begitu tergila-gila dengan hari Rabu? Ya, ada pastinya. Dia teman gue. Namanya Idar. Perempuan yang baru merayakan ulang tahunnya yang ke-20 kemarin ini bahkan telah menulis banyak tentang cerpen yang semuanya menggambarkan bagaimana indahnya RABU-nya. Rabu yang paling dia idamkan. Gue juga gak tahu kenapa dia sangat menyukai hari yang sebenarnya terkadang gue sial banget di hari ini. Makanya, tiap kali dia curhat tentang Rabu-nya gue gak serius nimpalin. Soalnya gini, gue gak bisa munafik gan kalo gue tuh gak terlalu suka sama kepercayaannya yang bilang Rabu itu membawa berkah. Gue Cuma selalu ngedenger kalo JUMAT justru yang ngebawa berkah. Of, course for our Moslem. Beneran!!!
Once upon a time, hiyyah!!!
Dika, anak baru yang orang kenal tajir itu menghiasi hari-hari gue dan Idar. Bukan ngejar dia yang sok ganteng itu, tapi karena dia selalu aja ngejek gue PESEK. Damn it!!! Dia yang pertama kali gue musuhin di sekolah. Sementara Idar? Dia sebaliknya dari gue. Dia malah kelepek-kelepek sama tuh Dika si bibir tikus. Sialnya, gak ada orang yang mau temenan ma nih anak jadinya tiap kali dia ngedeketin si Dika, gue yang di paksa nyatuin langkah dengannya. Entah tu menuju KANTIN, KELASnya DIKA, ataupun bahkan ke WARUNG POJOK tempat favorit anak-anak cowok pada nangkring.
Sejarah paling ngeplak buat gue, jatuh di HARI RABU.
You know, WHAT?!
Dika nyulik gue. Hah?
Ya.. jangan mangap loh pada!!!
Iyye, dia nyulik gue.. loh mungkin pada kaget kalo gue bilang kalo gue di culik ke rumkit, singkatan bekennya Rumah Sakit. Dika sakit? Bukan! Temennya. Lalu, hubungannya dia nyulik gue itu karena Dika bilang gue mirip sama si Titin, mantannya Fitrah temennya yang sakit itu. Titin ternyata sekarang sudah menikah. Yah, loh pada tau kan kalau di zaman sekarang tradisi menikahkan anak perempuan di kampung-kampung noh belum juga terkikis. Masih aja di jaga tradisinya, bahkan saat itu si Titin maih duduk di kelas VIII SMP. Ccehh, orang tuanya sangar amat ya? Anaknya masih bisa sekolah sebenarnya. Masih banyak cita-cita yang perlu dia kejar tapi eh malah nimang anak duluan dia. Saat itu, Titin gak tahu kalau Fitrah ngidap Bronchitis akut. Dika sering keluar rumah sakit meskipun dia gak mau dan benci dengan Rumah Sakit. Lalu, terjadilah dialog ini di kamar perawatannya Dika.
Kamu.. kamu itu mirip banget sama..”
Hmm, iyya.. gue tahu. Sama mantan loh kan?” Potong gue sekenanya. Gak apa-apa, cuma gue gak mau dia banyak ngomong aja. Kasian ngeliat dia ngomong ampe mangap-mangap gitu.
Aahh.. hehe!! Kamu sudah tahu ternyata.. Kamu ke sini lagi ya, Rabu depan” katanya.
Kenapa mesti Rabu sih? Emang besok gue gak bisa gitu jengukin loh?” Tanpa sadar, gue malah ngarep bisa datang ke sini lagi. Di kamar perawatan yang putih bersih. Nyaman banget rasanya. Entah karena tempatnya yang bersih atau karena factor lain yang gue gak sadar. Aslinya, gue tenang banget di kamar ini.
Ntahlah, gue cuma pengen di hari Rabu depan”
Menurut Dika, Fitrah selalu menyebut Rabu adalah harinya. Bukan karena keberuntungan seperti pemahaman si Idar, tapi katanya hari Rabu adalah hari di mana dia pertama kali di vonis Bronchitis.
Lepas dari Rumah Sakit saat itu, gue certain semuanya ke Idar yang sudah mulai jengkel. Takut gue jadian kali ya sama si Dika. Gak tau apa gue benci sama tuh cowok? Kalau bukan karena temennya sih, gue ogah nyebut namanya lagi. Gue juga bakal ngajakin Idar untuk ketemu Fitrah Rabu pekan depan. Mudah-mudahan Fitrah seneng ketemu sama temen rabunya. Hihihi
Dan, hari ini sudah Rabu. Gue menantinya dengan sangat lama, rasanya.
Gue masuk ke kamar Dika yang kini sudah berawankan mendung. Gue tahu, pasti sesuatu terjadi pada Dika. Bahkan gue sudah menduga kalau Dika meninggal. Dan, ternyata benar. Gue terlambat menyapanya. Gue terlambat memperkenalkannya pada Idar. Gue terlambat mengatakan kalau kini gue menantikan hari Rabu begitu panjang. Gue terlambat mengatakan “Loe harus kuat”, dan paling parah gue terlambat mendengar kalau dialah imajinasi Idar yang selama ini membuatnya MENCINTAI RABU. Laki-laki penyakitan yang membuat Idar berjuang melawan Dyslexia’nya ketika SD dulu, guna menulis tentang Fitrah. Laki-laki penyakitan. Di hari Rabu-lah, Idar melihat Fitrah di bopong ke Rumah Sakit. Dan, Fitrah bilang kalau dia pasti akan hidup. Dia memiliki Bronchitis, tapi Bronchitis tidak bisa memiliki dirinya.
Fitrah pun menghabiskan masa hidupnya dengan Bronchitis. Dan, Idar? Dia menjadi Buku untuk Fitrah. Semua cerpennya, yang berhasil menembus meja redaksi adalah hari-hari Fitrah. Dan kini, guepun menjadi bagian dari cerpennya. Seorang Sahabat, dari Faidar Rukmana yang menulis tentang Rabuku di kertasnya. Dan inilah hasil ukiran jemarinya yang mungil terima kasih, Sahabat. Kamu telah menulis tentang Rabu-ku di hari Rabu-mu yang indah. Rabu yang membuktikan kamu kini telah melaksanakan Sumpahmu sebagai DOKTER. Selamat Sahabatku!!! 




Jumat, 25 Januari 2013

Ketikan Jujur

di Januari 25, 2013 0 komentar
Hai hati, bagaimana kabarmu?
Masihkah kau risau?
Ataukah kau kini sedang mempelajari senyuman dalam kelebat embun?
Hai, janganlah kamu memainkan tokohmu yang kini masih menggeser rasa tenangmu. Berbahagialah. Meski itu hanya kamu dan dinding kamarmu yang tahu.

"Seperti kemarin dan kemarin, Nam. Aku masih saja merinding ketika sebuah kalimat menyerangku kembali. Pertanyaan yang selalu sama akan mendapatkan balasan yang sama" Menjelaskan kembali bagaimana risaunya.
"Hahahaha,sudahlah. Kamu itu terlalu bodoh. Sudah tahu kamu memiliki takdir yang di bawah ketiak Ayah, masih juga bertanya dan berusaha. Kamu ini memang mencoba tangguh, tapi kamu tak sekuat logam. Kamu itu rapuh. Kamu tahu itu?" Seperti membangunkanku dari ketidaktenangan mata yang senantiasa mencari cahaya perubahan.

*Plaaakkkk
Sejak kapan aku mulai tidak merasakan perih di mataku? Sentuhan keras di hatiku takkan bisa menggantikan bagaimana kecewa menjadi pertahanan terkuatku untuk hidup dalam kubangan masa remaja yang kelabu. Bahkan jika hantaman batu di dada pun takkan bisa menyamainya. Selalu menikmati gambar teman yang penuh kupu-kupu, tapi aku sendiri memiliki mimpi yang tak bersayap. Kalaupun menjadi seorang Perempuan seperti sekarang orang kenal, aku hanyalah seorang remaja yang beranjak dari pemberontakan besar dengan merangkak. Tertatih terus hingga lutut bisa di katakan berdarah namun tak berwarna.

Kembali lagi di hari kemarin. Kemarin dari kemarinnya aku merintih kecewa dengan tulisan hidupku.
Kepada Lauh Mahfuz kah aku mengeluh? Kepada Ayah kah aku meminta kebijaksanaannya yang Mahal? Atau pada diriku yang terlalu bodoh, membiarkan diri hidup dalam ketaatan yang mengakar hingga rasa takut menjadi teman sejati. Rasa segan menjadi suami. Dan, rasa bersalah yang akan mengantarkanku menemui tangisan perihku. Di hatiku teriris lagi. Waktu itu.
Selalu begitu.
Saat aku duduk di beranda rumah, hapeku berdering ceria.
Ku buka inboxku, dan tersenyum melihat nama itu.
"Hihihi,aku tahu kamu rindu denganku kak" Bisikku dengan hati yang merana.
"Jalan yukk.. Besokk!!!" Katanya.
 "Waahh, kemana kak? Mauu.. Tapi mudah-mudahan dapat izin" 
"Apajii?? Paccee.. (red:payah)" Katanya. Entah dia kecewa memang atau ingin menguji rasa bersalahku yang begitu gampang di jamah.

Ini yang kesekian kalinya.

Lalu, terjadi lagi saat yang lain melakukan hal yang sama.

"Eh, kapan ketemuan. Kangen" Katanya.
"Aku juga. Sangaatttt"
"Ya, makanya jalan yukk.. Kau nih betah amat di rumah. Kau gak di pingit kan?"
"Ah, nggak. Biasalah. Izinku masih tertutup dalam sumur tua" Jawabku terus terang.

Sudah bukan lagi alasan yang lazim ku keluarkan.
Bahkan mereka yang mengenalku sejak dulu mungkin sudah bosan dengan alasanku yang selalu mengandalkan PERIZINAN. Padahal sebenarnya, AKU MALU jika harus memberitahukan mereka tentang keadaanku. Begitu MEMALUKAN. Sejak aku mengerti arti PERSAHABATAN, aku sudah menggunakan layout kehidupan yang tersangkut urusan PERIZINAN.
Dan, lagi aku mengatakan kalau aku baik-baik saja. Aku bahagia. Meski ketika ku lihat mereka bercanda bersama dalam gambar yang di tujukan padaku, hatiku seperti teriris sembilu. 
"Aku juga mau seperti kalian. Mau sekali" 

Ketika kesempatan tentang kebersamaan dari tempat lain tiba, tak ku hiraukan lagi perizinan itu. Ku hantam lagi jalan keluar termanjur. KABUR. Meski aku harus menghadapi hempasan angin topan pun saat pulang, aku tak peduli. Mekipun, masih saja Ayah mau memaafkanku. Saat itu, aku berjanji. "Aku tidak akan mengecewakan, Ayah. Meski jalanku menuju sukses begitu meletihkan sarafmu, Yah. Menahan anak yang keras kepala sepertimu. Inilah anakmu. Belajar dari kerasnya perhelatan lalu lintas di otakmu. Bahkan hebatnya aliran kehidupan di kampuspun, aku masih menghadapinya dengan 1x menangis saja. Setelahnya, aku mengeringkan hatiku yang tak pernah basah lagi sampai pada akhirnya aku membaca mataku yang penuh kemunafikan". This is your, Destiny. Kamu harus melewatinya. Jalankan. Meskipun akhirnya kamu akan mati dalam jalannya, anggaplah kamu sedang gugur dalam acting yang BODOH. Kebodohan menjadi sahabat terbaikmu.

Saat itu, Ayah memblokir seluruh keuanganku. Dan, aku pun mencari pekerjaan. Tapi semua membutuhkan keterampilan dan kecerdasan. Aku tak memilikinya. Aku tak terlatih selain MENGELUH dan MEMBERIKAN TEMPAT TERNYAMAN BUAT ORANG LAIN DI PUNDAKKU. Itu bisa ku lakukan. Bahkan aku bisa mengaAHLIkan diriku di bidang ini. 

Seorang SAHABAT pun mengatakan padaku, "Pekerjaan apa yang cocok untuk ORANG BODOH, Fa?" Katanya.
Aku terhempas. Tersungkur kembali. Sadar Ulfa. Kamu tak seceerdas dirinya yang menyadari kelemahanmu. Ckckck, aku pun terkekeh sendiri. Benar. Kamu butuh orang lain. Minimal untuk menyadarkanmu yang selama ini tertidur. "Okke" Balasku.

Lalu, tadi lagi.
Seorang Sahabat melihat kebersamaanku dengan teman lain di sebuah tempat.
"kalau jalan sama yang lain BISA, tapi sama kami TIDAK"
Aku harus menjawab apa? Berapa kali aku harus KABUR hanya untuk menyenangkan kalian dan juga menyenangkan hatiku yang terlampau beku?
Aku bingung SAHABAT. Aku bingung. Aku pun mau sebebas kalian. Tapi aku tak bersayap. Aku patah sebelum aku lahir dengan gemintang di kepalaku yang membuat orang bangga padaku.

"HARUSKAH AKU MENJELASKAN PADA MEREKA BAGAIMANA KERASNYA HATIMU MELEWATI SEMUA ITU? MENAHAN PERIHNYA KESEPIAN. MENAHAN SAKITNYA KEINGINAN YANG TAK BISA TERWUJUD. HARUSKAH AKU MEMBUKA MATA MEREKA LEBAR-LEBAR BETAPA INGINMU JAUH LEBIH BESAR DARI MEREKA?"

"hhahaha, tidak perlu. Nam. Cukup aku menutup PINTU persahabatan agar tak ada lagi yang kecewa dengan tangan takdirku. Agar tak ada lagi yang kebosanan membaca alasan-alasanku yang memualkan perut. Cukulah kamu mau menjadi Sahabatku, Nam. Sahabat dalam khayalku. Yang menemaniku bermain dalam anganku sendiri. Aku akan memanggilmu ketika ku butuh karena sulit menemukan teman sepertimu. Teman yang bisa ku buat sendiri agar tak kebosanan mendengar keluhku" Dalam tulisanku aku memainkan perannya.

"Tenang saja. Aku akan terjaga. Bahkan ketika kamu akan menangis karena mereka yang kau rindukan, aku akan menghalaunya dengan humorku" Candanya. Aku tersenyum paksa. Hatiku kembali teriris.


Senin, 21 Januari 2013

Painting Smile

di Januari 21, 2013 0 komentar

“Nita?” Tanya seseorang di antara kemeraman malam. Aku menoleh ke arah suara itu dan ku temukan dia yang selama ini ku dengar namanya dari semua bibir gadis di sekolah. Tapi, kenapa dia di sini? Aku membatin sendiri dengan kekaguman yang masih melekat di mataku yang kini menatapnya penuh rasa.
“Heyy..” Tanyanya kembali.
“Aahh..iiyya.. Danu ngapain di sini?” Aku ingin bertanya, kenapa dia mengenaliku. Bukannya kita beda kelas, Dan? Tapi urung ku lakukan karena segan.
“Hehe, kamu tinggal di sini ya? Hmmff, kita tetanggan sekarang. ini rumahku” Katanya sambil menunjuk ke arah rumah di belakangnya. Rumah berlantai dua yang aku tahu memang si empunya dulu ingin menjualnya karena telah di pindah tugaskan bekerja ke Jogja.
“Ooh..” Nyengir mati kutu bin kikuk. Aku menelan liur. Aku patah kata. Sekarang kami tetanggaan. Wah, asiikkk. Ckckck!!!
“Aku dari kemarin loh di sini, Ta. Aku juga liat kamu tadi pagi ke sekolah. Cuma kamu serius banget di baca novelnya. Ya udah, saya pikir mungkin aku bisa bicara sama kamu di sekolah. Eh, tahu-tahunya kamu malah sibuk di UKS. Hebat ya. Aku bangga punya tetangga yang cerdas. Bisa belajar kan kapan-kapan?” Ingin sekali ku jawab dengan “iya” sambil mengibarkan bendera kemenangan. Aku berhasil di ajak belajar bersama laki-laki yang di taksir anak-anak gadis di sekolah, huiihh.. assikkk!!!
“Oia, Nita dari mana? Malam begini baru pulang?”
“Tadi dari jenguk Sofie di RS. Kena DBD. Jadi sekarang baru pulang karena tadi sempat nemenin main dulu”
“Wah, saya kok makin kagum ya sama Nita.. Hehehehe”
Ya Tuhan, jaga hatiku. Jangan sampai copot. ^____^
Aku melirik jam tanganku. Sudah pukul 20:16 menit lewat. Ayah pasti khawatir banget sekarang. “Hmff, maaf ya Dan. Nita harus pulang. Sudah malam banget. Takut ayah tambah khawatir. Sampai ketemu, bbeesookkk” Sambil sedikit ku lambaikan tanganku. Ke arahnya. Danu. Sang Kanvas senyumku. J
“Okkee, Nit. Byee” Senyumnya menutup kedipan terakhirku di depannya malam ini. Aku makin semangat sekolahnya besok.. Tssaahh!!!!
Tiba-tiba Danu memanggilku kembali. Ku lihat dia berlari ke arahku sambil memberikan Sebuah Buku. Sebuah Buku berjudul “..Dan Hujan pun Menari”. “You must read it, Nit” Dia kemudian tersenyum lalu sedikit menyentuh jemariku. Seperti darahku berubah menjadi warna merah muda semua bercampurkan rasa Strawberry yang manis. Bulu mataku seperti berubah menjadi sangat lentik dan enggan mengedipkan pandangan. Tanganku? Seperti kena Stroke. Aku tak bisa menggerakkannya. Aku takut bekas sentuhannya menghilang terbawa angin gerakku. Malam ini kenapa seperti aku ketiban rezeki dari peti langit? Ini harta karun, mukjizat, atau apa? Ahh, indahnya.
Aku kemudian berjalan kembali ke rumah dengan rasa senang yang sampai ke langit ke tujuh. Minta ampun rasa ini membuatku merasakan manisnya senyumku. Ku buka daun pintu rumahku, dan *Praaakkkk…
Perih. Aku menoleh dan ku lihat Ayah dengan mimik marahnya menahan getar tubuhnya.
“Ayah.. Ayah..”
“Apa yang kamu lakukan dengan dia hah? Tetangga baru itu? Kamu pacaran sama dia hah? Tanya Ayah.
“Ayah apa-apaan sih. Ayah gak tahu apa-apa kenapa ayah langsung nampar Nita. Kami Cuma temenan. Dan kalau emang Nita pacaran sama dia, kenapa? Salah? Seumuran Nita juga sudah banyak yang punya pacar yah, kenapa mesti Ayah memperlakukan Nita seperti ini?”
“Jadi kamu berani sekarang yah melawan ayah”
“Kalau iya kenapa?” Aku nyolot.
“CUUUUTTTTTTT” Teriak Bagas. Produser ulung ini selalu memainkan perannya dengan baik dalam setiap teriakan. Hah, menjadi artis ternyata asik juga. Meski cuma untuk Film Dokumenter anak SMA.
“Okkkkee… Acting kalian bagus sekali. Sangat. “Lue mantep ternyata soal ngebentak orang, hahaha” Puji Bagas sembari menepuk-nepuk bahu ku. “Kamu ada bakat acting, Sa. Keren Loh!!!”.
Aku hanya mengangguk. Saat ku balikkan badanku, ku lihat Kak Rangga membalikkan badannya juga sambil tersenyum.
_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-_-
“Nisa, Kak Rangga nitip ini ke saya” Sembari surat bersampul pink itu mengarah padaku dari tangan Vita.
Ku buka, dan…
Kamu mau berdansa denganku?
Oh, aku lupa kalau kau tak bisa berdansa.
Kalau begitu, maukah kau bermain karet denganku?
Maaf, aku lupa lagi kamu sudah dewasa dan kini menjadi gadis yang cantik.
Kamu mau menyelipkan jarimu di sela jariku?
Ahh, kali ini aku sepertinya berangan.
Tak perlu.
Aku hanya ingin menjadi, “DANU” mu di Drama mu.
Aku mau menjadi Kanvas Senyummu.
Bisakah kamu melantunkan melodi indah bersamaku?
Hanya bersamaku?
Tidak dalam actingmu, lagi. tapi dari keindahan senyummu yang sebenarnya.
Terima Kasih telah membuatku Jatuh Cinta. Lagi!!!


“Tentu aku mau” Balasku dari hati.

Kak Aya's expression.. :D

di Januari 21, 2013 0 komentar
Sejuta Ekspresi. Itulah Julukannya kak Arianitalia Anwar. :D
Mukanya gak bugis, gak korea juga, di bilang nge-jawa bisa juga, di bilang Cina kena juga, tapi gak nge-afrika pastinya soalne, dia ini Putih pisan..Haha!!! Seneng liat mukanya yang bisa di bentuk sedemikian rupa hingga menghasilkan ekspresi amburadul yang ngundang ngakak orang-orang!!! Seelastis karet, seperti itu ekspresinya.. Hihihi.. ^_^
Mengabadikannya melalui alat teknologi namanya KAMERA dan mengambil bagian yang hanya facenya aja yang namanya di Crop, sehingga jadilah tulisan ku di sertai potongan gambar tentangnya.. Cekidott .. :*




















































Dan berakhirlah semua wajah-wajah elastis ini.. Senyum yang tak pernah nyangkut di pohon, masih setia melekat di bibir.. Keep Smile, Kak.. :)
 

Lyu Fathiah Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review