Profesi Pernikahan
Diusia
ku yang sekarang menanjak 24 Tahun, pastinya sedikit banyak sudah mengarah ke
Pernikahan. Dan tidak banyak pula teman sesama disekolah maupun kuliah sudah
memiliki anak-anak yang lucu. Ketika menjadi siswa, membahas tentang pernikahan
atau sekedar hanya memikirkannya pun terasa sangat berat. Menjadi hal yang
terlalu vulgar untuk dibicarakan. Namun, entah sejak kapan, saya sendiri tidak
menyadarinya secara kuat bahwa saat ini, menikah menjadi topik yang panas di
otakku. Selalu tentang menikah, dinikahkan, pernikahan, yang melintas tentang
itu terus bahkan jika saya sedang *boker (red: BAB).
Lalu,
apa yang ingin saya katakan disini?
Ya.
Banyak sekali yang ingin saya sampaikan.
Pertama.
Menikah itu keputusan yang hebat dan tidak mudah. Di usia yang masih muda, kita
bisa saja mememikirkan bahwa keputusan untuk menikah adalah jalan terakhir
untuk menutup pintu kebebasan. Entah kebebasan berteman, kemana-mana dengan
siapa saja, dan melakukan apa saja dan dengan siapa saja. Kamu, kalian, dan
saya juga jika memutuskan untuk menikah maka berarti kita harus siap menjadi
Penjaga Dapur, Sumur, dan Kasur. Jangan langsung berpikiran saya ini sempit.
Tidak. Itu kodrat kita sebagai
perempuan. Kamu ngerti kan? Terlepas dengan adanya zaman Emansipasi Wanita,
yah, tidak mengapa kalian berkarier tapi ingat kodrat itu. Berat kan? Tentu
berat jika kita memikirkannya di usia yang masih 20-an. Karena ego kita masih
kuat dengan masa muda. Namun bagaimana dengan mereka perempuan yang usianya
sudah lewat dari 20-an dan belum menikah?
Tentu saja mereka pasti akan lebih banyak yang pasrah. “Siapa saja Tuhan menurutMu dekatkanlah denganku” sejauh ini makna
doa yang sama mereka lafazkan di sujud-sujud mereka yang panjang. “apapun pekerjaan mereka Tuhan tak mengapa
asal mereka mau berjuang bersama” dan ini juga banyak di usia kita yang
berdoa demikian. Atau, “dari kalangan
keluarga apapun ia Tuhan saya bersedia yang penting dia mau sama-sama baik
denganku setelah menikah”. Hmmm,
ingatlah lagi. Jangan menunda menikah hanya karena “Dia siapa, kerjanya
apa, dan keluarganya apa”. Memang mesti dipikirkan kesemuanya. Tapi Rosulullah
SAW *Allahumma Sholli Wasallim Wabariq ‘ala Sayyidinaa Muhammade wa ‘ala alii
Muhammad* juga berpesan pilihlah yang BERAGAMA.
Kedua.
Saya ingin membahas masalah PROFESI laki-laki yang melamarmu dan bagaimana
KELUARGANYA. Dulu saya pernah mendengar kalimat “apapun dia, bagaimanapun latar
belakang pendidikannya, atau dari siapapun keluarganya saya mau asalkan ini,
asalkan itu, dll”. Tidak sepasrah itu menurutku. Mengapa kita perlu memilih
perempuan/laki-laki yang paras wajahnya Cantik/Gagah karena kita menikah tak
lain ingin menghasilkan keturunan. Selain kita ingin keturunan kita berparas
indah pula, juga dengan wajah yang indah pun akan membuat kita senang
memandanganya. Meskipun itu memang semu karena akan ada masanya kita bertemu
dengan masa tua. Jangan munafik. Jangan mengatakan “Gak Papa Jelek” karena apa?
Hati itu terombang-ambing Bray. Kemudian dari keluarganya. Jika ia bukan dari
kalangan terhormat, pejabat mungkin, Kyai mungkin, atau apakah itu Profesi yang
dibanggakan apakah kita sulit menerimanya? Wajib bagi kamu juga melihat latar
belakang keluarganya. Tidak untuk kamu sindir jika keluarganya tidak baik,
hanya saja, ketika kamu menikah sama dia maka mau tidak mau kamu akan
berinteraksi banyak dengan keluarganya. Sehingga anak-anak kamu akan mengikuti
juga lingkungan seperti apa ia dibesarkan. Itulah mengapa kita juga perlu
melihat latar belakang keluarganya. Namun, tidak untuk jadi patokan utama juga.
Mengapa? Misalnya ada 10 Wanita dan 10 Pria. Jika 10 Wanita ini menginginkan
laki-laki yang berasal dari keluarga Kyai atau Ulama sementara di antara 10
Pria itu hanya 2 orang yang keluarganya Ulama. Maka apakah 2 laki-laki ini
menikahi 5 wanita masing-masing? Laki-laki lain akan menikah dengan siapa?
Begitupun sebaliknya jika laki-laki ingin menikahi perempuan yang berasal dari
keluarga Ulama? Apakah perempuan akan dinikahi 5 laki-laki diantaranya? Tentu
tidak kan? Logikanya begitu. Dan, apakah dengan menikahi anak Ulama atau Ustads
maka kamu bisa menjamin bahwa keluargamu akan terbebas dari api neraka? Tidak
kan? Karena setiap laki-laki apapun profesinya dan siapapun keluarganya mereka
bertanggung jawab MENJAGA KELUARGANYA dari API NERAKA.
Selanjutnya
tentang PENDIDIKAN. Kamu tidak wajib memilih perempuan/laki-laki siapa saja.
Jika ada yang berpendidikan maka pilihlah yang berpendidikan. Karena orang tua
yang berpendidikan tentu bisa mendidik anak-anaknya juga dengan pendidikan yang
baik. Meskii itu tidak selalu berlaku Bray. Banyak yang ingin menentangnya?
Saya-pun demikian. Banyak yang Profesor tapi anaknya menggunakan Narkoba.
Banyak Aparat Keamanan yang anaknya justru menjadi pelaku Kriminalitas. Banyak
sekali. Itulah mengapa Rosulullah SAW *Allahumma Sholli Wasallim Wabariq ‘ala
Sayyidinaa Muhammade wa ‘ala alii Muhammad* berpesan “Didiklah anakmu sesuai
dengan zamannya”, karena didikan tidak selalu sama dan berlaku. Akan ada
saatnya Rumus, Hukum, atau Pepatah akan terbantahkan. Contoh: Buah jatuh tak
jauh dari pohonnya. Nabi Nuh membuat Kapal untuk menyelamatkan Umatnya, tapi
anaknya sendiri ikut tenggelam karena tak mentaati ayahnya. Ada lagi yang ingin
menambahkan? Ilmu saya masih dangkal memang. Masih perlu banyak ilmu dari
kalian sahabat untuk ku perluas. Contoh lain lagi, jika seorang Suami
pendidikannya S2 misalnya, sementara Istrinya hanya berpendidikan SLTP. Ketika
ada masalah dalam RT, suami akan lebih cenderung menggunakan pemikirannya
karena ia merasa “Saya ini S2, sedangkan kamu Cuma tamatan SLTP” ataupun
sebaliknya. Meski ini tak akan menjadi patokan tapi ini hanya sekelumit
pemikirannya yang jelek mungkin. Silahkan di sangkal jika saya salah. Saya juga
manusia.
Dan
Profesi Laki-laki yang melamarmu atau suamimu. Ia tak mesti Ustads, ia tak
mesti Dokter, Hakim, dll. Jika semua perempuan ingin menikahi laki-laki Ustads
maka yang dokter dan profesi lain akan menjadi Kutu Pekerjaan dan tak menjadi
Suami. Begitupun sebaliknya. Dunia ini luas. Tak hanya itu profesi yang mulia
dan mampu menjamin akhirat. Ketika kamu atau saya menikah, Ijab Qabul
berlangsung, maka Arsy’ Allah akan bergetar karena melihat betapa berat beban
yang akan ditanggung oleh suami. Mulai ujung rambut istrinya dan anaknya akan
menjadi tanggung jawabnya, menjadi jaminannya masuk surga atau neraka. Oh iyya,
masuk surga atau neraka adalah Hak Ikhwal Allah Azza Wajalla. Kita tidak bisa
menjudge “dia akan masuk neraka atau surga” karena kita beribadah di dunia
untuk mencari Ridho-Nya Allah. Karena Surga dan Neraka-Nya adalah juga dari Ridho-Nya.
Salah satu Guru Besar kita, AG. KH. Dr. Sanusi Baco, Lc mengatakan “Jangan
semua menjadi PNS. Jangan semua menjadi Dokter, jangan semua menjadi Anggota
Dewan. Harus ada yang mengurusi Umat dan Agama Allah”. Apa artinya? Jika memang
hanya Ustads yang mulia dalam Profesi itu maka tidak akan ada lagi gunanya
menjadi Hakim yang Adil, Dokter yang bisa membantu kesembuhan umat, dan Guru
yang mengajarkan Abata, dan berbagai Profesi Halal lainnya.
Ketiga. Kesimpulannya mari kita belajar AGAMA. Kamu,
kalian, dan saya insya Allah akan menjadi Istri dan Suami. Mari kita menjadi
Madrasah Wal Ulaa di Rumah Tangga kita. Menjadi Guru yang Cerdas. Menjadi Hakim
yang adil. Menjadi Dokter yang penyembuh. Dan, menjadi orang tua yang berhasil
menghasilkan anak-anak yang mengagungkan Agama dan Asma-Nya. Aamiin allahumma
aamiin.
Sebelum
menikah. Mari kita belajar. Belajar menjadi istri, suami, dan orang tua. ^____^