Di gazebo MIPA, orang menamai tempat ini. Tempat
tongkrongan mahasiswa yang sedang rehat dari dunia akademik yang menjemukan
untuk sebagian orang. Tak terkecuali diriku. Entah kapan mulainya saya membenci
tempat ini. Orang bilang, kampus adalah tempat terindah di masa penanjakan usia
yang menuju kematangan. Baik fisik maupun mental. Saat pertama saja aku sudah
lupa kapan aku jelasnya menjadi salah satu bagian dari mahasiswa itu.
Hanya saja aku memiliki 1 perbedaan dari para
pencari Ilmu itu yakni aku bukan Mahasiswa Murni. Maksudnya, aku terdampar di
Universitas ini karena kecolongan beasiswa. Soal yang harusnya ku
konsentrasikan otakku di sana malah hanya ku gambari, menulis namaku dan
berharap bel tanda test selesai segera berbunyi. Dari 50 soal, hanya 3 soal
yang ku kerjakan. Tentunya dengan kemampuan otakku yang tak pantas di acungkan
jempol.
Dan kembali lagi di gazebo MIPA. Di sini, lebih
lanjut ku paksakan rasa malasku menginjak kampus ini untuk segera menyibukkan
diri. Itu planning bersama kakak-kakakku yang juga sebagai teman-teman kelasku.
Maklumlah, saya yang termuda di antara mereka. Aku menunggui mereka di sini,
dengan mengetik kata demi kata. Merangkai kalimat demi kalimat. Ketika ku
dapatkan yang tak sesuai, ku delete lah mereka. Lalu ketika aku lost, ku teguk
lagi air minum di botol sebagai senjata pamungkasku ketika di kampus guna
menahan rasa lapar. Uang yang di berikan hanya cukup untuk ongkos angkot 3x
ganti. Maksudnya, dari tempatku berdomisili saya harus naik angkot menuju
Sudiang atau Daya. Di sana saya akan turun dan kembali mengambil angkot
lanjutan menuju Veteran dan berlanjut lagi menuju Parantambung begitupun ketika
aku kembali ke rumahku. Perjalanan yang mewah. Mewah dengan rasa letih, mewah
dengan hawa panas, mewah dengan berbagai macam bau badan, mewah dengan
keringat, dan yang paling penting mewah dalam bersabar menghadapi MACET.
Di lantai gazebo ini, aku menginjakkan kakiku sambil
menatap sepatu kucel plastic hitam yang penuh dengan debu. Aku sebentar
menggerakkannya, mengayungkannya, dan sampai aku melihat tidak jauh ada 3
kawanan anak burung yang sedang mematuk-matuk lantai. Ku hentikan aktivitas
ayunan kaki itu lalu melihat mereka. Kepalanya ia goyang-goyangkan sebentar, ke
atas, bawah, kanan, kiri, ke bawah lagi, dan begitu lagi dan lagi.
Aku berbicara pada mereka, seperti orang tidak waras
yang berbicara pada batu.
“Heii, bro. enak ya matuk-matuk lantai?” Aku terdiam
dan tersenyum
Mereka masih saja mematuk dan menggeleng-geleng
seperti pusing melihat diriku yang gila ini berbicara padanya.
“Heh, kamu tahu tidak. Saya kagum dengan paruhmu.
Bahkan lantai sekeras itupun kamu tetap jajaki demi mencari sepotong makanan
yang bisa di kunyah lidahmu. Apa itu tidak sakit dan ngilu? Oh, mungkin tidak.
Kamu sudah terbiasa. Kakimu kecil sekali, namun kamu bisa berjinjit-jinjit
kecil menuju tempat lain. Terus dan terus sampai ketika kakiku bergoyang,
kalian dengan cekatan mengepakkan sayap dan terbang. Aku tahu kalian akan kembali
lagi, karena di sini ada banyak potongan makanan dari para mahasiswa yang
dengan mubazzirnya membuang makanan seperti lantai ini adalah tong sampah.
Kamu memiliki paruh yang kuat, kaki mungil yang
lincah, mata lentik yang temaram. Namun, aku lebih tertarik pada SAYAPmu.
Bisakah kau mengajariku terbang dari keterpurukanku? Mengajariku terbang dari
keputusasaanku? Atau sekalian kau bawa aku terbang meninggalkan segala
ketakutan-ketakutanku hingga yang tersisa hanyalah danau semangat yang luas
membentang? Yah, memang itu tidak mudah. Tapi, aku berterima kasih. Terima
kasih, karena kau mau terbang ke sisi jari manisku. Dengan itu, aku bisa
memulai mengetik kalimat-kalimat ini tentangmu.”