Senin, 19 Oktober 2015

Mulai Bermimpi

di Oktober 19, 2015
Saat itu saya bertemu dengan seorang perempuan gila yang memimpikan banyak hal yang terkesan seperti “dongeng” menurutku. Sebut saja dia, ‘Loly’ karena mimpinya yang penuh warna ceria. Membangun sebuah impian yang sederhana tapi mustahil terwujud. Ku ceritakan ini sebagai bentuk pengkhianatanku padanya, agar dunia tahu betapa bodohnya dia. Melangkahkan setiap kakinya, guna, bertemu dengan mimpi-mimpi yang akan terus ia bangun sendiri. Yang ntah akan terwujud atau sama sekali tidak.
“Kita hidup akan terus bermimpi Ri. Seperti hidupmu yang tak pernah kau rencanakan namun terwujud indah, itu juga bagian dari mimpi” Katanya sambil mengunyah bakso kesukaannya.
“Kapan? Kapan saya bermimpi demikian?”
“Bukan kamu, tapi semua yang mencintaimu, termasuk saya, agar kamu memiliki hidup dan cerita yang indah” dan saya benar merasakan rasa yang aneh. Hidupku begitu indah meski tak pernah ku mimpikan seperti dia, mungkin memang benar. Ini seperti doa orang lain padaku. “Trus kenapa kamu juga tak meminta ku untuk berdoa untukmu saja agar memiliki hidup yang indah?”
“Karena kamu bukan aku”
Dia menaruh mangkuknya, meneguk air agar mampu menelan bakso yang belum hancur sempurna ia kunyah. Ku lihat ia sedikit membersihkan tangannya di bajunya lalu memegang tanganku.
“Ini sederhana, Ri. Sebentar saja kamu mendengar permintaanku yang sederhana. Saya tidak akan memberitahukannya pada siapapun selain kamu. Dan, kamu akan mendengar impianku ini lagi, setelah 40 tahun. Jadi ingatlah, dan dengarkan saya baik-baik, ya?” Saya mengangguk.

Saya akan menikah di usia 25 tahun, disaat itu saya akan dilamar orang yang belum ku kenali sebelumnya. Ayahku-pun tidak mengenalnya. Tapi, orang tua kami saling mengenal. Orang tuanya tidak tahu, bahwa saya yang ia ingin jadi menantunya ini bukan orang baik seperti yang mereka bayangkan. Mereka tidak tahu betapa bodohnya mereka memilih saya, hanya karena mereka mengenal baik dan tahu orang tua ku adalah orang tua yang baik, menurut mereka. Namun Ri, orang tuaku menyukai orang tuanya. Juga, mereka suka laki-laki itu. Laki-laki yang tak ku tau namanya, dan tak ku tahu rupanya. Sebelum saya mengenal ia, saya mendengar bahwa tingginya 180 cm, cukup tinggi untuk bersanding dengan wanita sepertiku. Badannya bidang, kata ayahku. Bagus. Mungkin karena ia Dokter, ia menjaga tubuhnya dan menjaga kesehatannya. Six-pack? Saya tidak pernah tahu apa bagusnya untuk pria, tapi mungkin itu memang menarik. Kulitnya putih, bersih, giginya rapi, rambutnya dijambulin sedikit, mirip Lee Sang Yoon, Hahaha. Ayahku yang tokoh Agama, ternyata membuatnya, laki-laki itu ikut tertarik menjadi menantunya. Awalnya saya ragu, karena karakterku yang nega-holic. Bisa jadi orang tuanya suatu saat nanti tidak akan menyukaiku karena keluargaku dan aku bukanlah dari keluarga kaya seperti mereka. Sementara di lain hal, dia laki-laki yang baik. Dia begitu khawatir denganku yang terluka sedikit, atau kecapean sedikit. Mungkin karena ia Dokter. Dia jarang skali ada dirumah dan selalu kurang waktu untuk bersamaku dirumah karena waktunya habis di RS. Namun, saya selalu menengar disisa waktu sadarku, dia bilang kalau hal yang paling ingin ia lakukan dalam sehari adalah kembali kerumah. Dan mataku terkatup mengantuk. Saat subuh, dia membangunkanku dengan pelan, “bangun, yah...kita sama-sama minta sama Allah agar diberi kekuatan dan ketabahan untuk terus menjadi pasangan yang baik dan amanah. Yah” bujuknya pelan. Meski mataku berat, saya terus berusaha melakukannya dengannya. Hal yang paling tidak ia sukai adalah ketika saya terluka, kelelahan, menangis, tanpa izinnya. Ckckck. Lucu tidak? Tapi hal yang paling ia sukai adalah ketika saya mampu menangis didadanya yang bidang. Dia akan melepaskanku ketika tidak ada lagi air mata yang bisa keluar. Ketika saya marah-marah, dia akan diam lalu menarik tanganku membawaku ke kamar dan berbicara pelan “saya minta maaf karena tidak mampu menjadi suami yang membantu dalam bayak hal...saya cuma mau kamu juga sabar ya”. Itulah titik ketenanganku.
 Keluarganya menyukaiku, semuanya sayang sama dengan sayangnya dengan suamiku. Selalu saja ada juga perempuan lain yang ingin mendekatinya, tak ku biarkan namun saya tidak bisa berbuat apa-apa selain membisikinya kalimat ketika akan bekerja “saya percaya banyak perempuan yang lebih baik dari saya diluar sana, tapi tolong jangan tinggalkan saya demi mereka karena saya membutuhkanmu dan akan selalu menunggumu kembali disini, dirumah”. Mungkin itulah, sampai saat ini kami alhamdulillah masih baik-baik saja.
“Ri, apa mimpiku kelewatan?”
Saya menyimak semua yang ia katakan.
“Tidak.”
Dia nampak sangat bahagia mendengar jawabanku.
“Tapi saya bisa jamin, LO UDAH GILA”
Saya berdiri dari tempatku, “kita tunggu ceritamu ini. 40 tahun dari sekarang, saya akan memanggilmu duduk dihadapanku dan akan ku cerca kau atas mimpi-mimpi konyolmu jika ternyata tidak terwujud”
Dia mengangguk bahagia dan tertawa terbahak-bahak.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Lyu Fathiah Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review