Saat itu saya bertemu dengan
seorang perempuan gila yang memimpikan banyak hal yang terkesan seperti
“dongeng” menurutku. Sebut saja dia, ‘Loly’ karena mimpinya yang penuh warna
ceria. Membangun sebuah impian yang sederhana tapi mustahil terwujud. Ku ceritakan
ini sebagai bentuk pengkhianatanku padanya, agar dunia tahu betapa bodohnya dia.
Melangkahkan setiap kakinya, guna, bertemu dengan mimpi-mimpi yang akan terus
ia bangun sendiri. Yang ntah akan terwujud atau sama sekali tidak.
“Kita hidup akan terus bermimpi
Ri. Seperti hidupmu yang tak pernah kau rencanakan namun terwujud indah, itu
juga bagian dari mimpi” Katanya sambil mengunyah bakso kesukaannya.
“Kapan? Kapan saya bermimpi
demikian?”
“Bukan kamu, tapi semua yang
mencintaimu, termasuk saya, agar kamu memiliki hidup dan cerita yang indah” dan
saya benar merasakan rasa yang aneh. Hidupku begitu indah meski tak pernah ku
mimpikan seperti dia, mungkin memang benar. Ini seperti doa orang lain padaku.
“Trus kenapa kamu juga tak meminta ku untuk berdoa untukmu saja agar memiliki
hidup yang indah?”
“Karena kamu bukan aku”
Dia menaruh mangkuknya,
meneguk air agar mampu menelan bakso yang belum hancur sempurna ia kunyah. Ku
lihat ia sedikit membersihkan tangannya di bajunya lalu memegang tanganku.
“Ini sederhana, Ri. Sebentar
saja kamu mendengar permintaanku yang sederhana. Saya tidak akan
memberitahukannya pada siapapun selain kamu. Dan, kamu akan mendengar impianku
ini lagi, setelah 40 tahun. Jadi ingatlah, dan dengarkan saya baik-baik, ya?”
Saya mengangguk.
Saya akan menikah di usia 25
tahun, disaat itu saya akan dilamar orang yang belum ku kenali sebelumnya.
Ayahku-pun tidak mengenalnya. Tapi, orang tua kami saling mengenal. Orang
tuanya tidak tahu, bahwa saya yang ia ingin jadi menantunya ini bukan orang baik
seperti yang mereka bayangkan. Mereka tidak tahu betapa bodohnya mereka memilih
saya, hanya karena mereka mengenal
baik dan tahu orang tua ku adalah orang tua yang baik, menurut mereka. Namun
Ri, orang tuaku menyukai orang tuanya. Juga, mereka suka laki-laki itu.
Laki-laki yang tak ku tau namanya, dan tak ku tahu rupanya. Sebelum saya
mengenal ia, saya mendengar bahwa tingginya 180 cm, cukup tinggi untuk
bersanding dengan wanita sepertiku. Badannya bidang, kata ayahku. Bagus.
Mungkin karena ia Dokter, ia menjaga tubuhnya dan menjaga kesehatannya.
Six-pack? Saya tidak pernah tahu apa bagusnya untuk pria, tapi mungkin itu
memang menarik. Kulitnya putih, bersih, giginya rapi, rambutnya dijambulin
sedikit, mirip Lee Sang Yoon, Hahaha. Ayahku yang tokoh Agama, ternyata
membuatnya, laki-laki itu ikut tertarik menjadi menantunya. Awalnya saya ragu,
karena karakterku yang nega-holic. Bisa jadi orang tuanya suatu saat nanti
tidak akan menyukaiku karena keluargaku dan aku bukanlah dari keluarga kaya
seperti mereka. Sementara di lain hal, dia laki-laki yang baik. Dia begitu
khawatir denganku yang terluka sedikit, atau kecapean sedikit. Mungkin karena
ia Dokter. Dia jarang skali ada dirumah dan selalu kurang waktu untuk bersamaku
dirumah karena waktunya habis di RS. Namun, saya selalu menengar disisa waktu
sadarku, dia bilang kalau hal yang paling ingin ia lakukan dalam sehari adalah
kembali kerumah. Dan mataku terkatup mengantuk. Saat subuh, dia membangunkanku
dengan pelan, “bangun, yah...kita sama-sama minta sama Allah agar diberi
kekuatan dan ketabahan untuk terus menjadi pasangan yang baik dan amanah. Yah”
bujuknya pelan. Meski mataku berat, saya terus berusaha melakukannya dengannya.
Hal yang paling tidak ia sukai adalah ketika saya terluka, kelelahan, menangis,
tanpa izinnya. Ckckck. Lucu tidak? Tapi hal yang paling ia sukai adalah ketika
saya mampu menangis didadanya yang bidang. Dia akan melepaskanku ketika tidak
ada lagi air mata yang bisa keluar. Ketika saya marah-marah, dia akan diam lalu
menarik tanganku membawaku ke kamar dan berbicara pelan “saya minta maaf karena
tidak mampu menjadi suami yang membantu dalam bayak hal...saya cuma mau kamu
juga sabar ya”. Itulah titik ketenanganku.
Keluarganya menyukaiku, semuanya sayang sama
dengan sayangnya dengan suamiku. Selalu saja ada juga perempuan lain yang ingin
mendekatinya, tak ku biarkan namun saya tidak bisa berbuat apa-apa selain
membisikinya kalimat ketika akan bekerja “saya percaya banyak perempuan yang
lebih baik dari saya diluar sana, tapi tolong jangan tinggalkan saya demi
mereka karena saya membutuhkanmu dan akan selalu menunggumu kembali disini,
dirumah”. Mungkin itulah, sampai saat ini kami alhamdulillah masih baik-baik
saja.
“Ri, apa mimpiku kelewatan?”
Saya menyimak semua yang ia
katakan.
“Tidak.”
Dia nampak sangat bahagia
mendengar jawabanku.
“Tapi saya bisa jamin, LO
UDAH GILA”
Saya berdiri dari tempatku, “kita
tunggu ceritamu ini. 40 tahun dari sekarang, saya akan memanggilmu duduk
dihadapanku dan akan ku cerca kau atas mimpi-mimpi konyolmu jika ternyata tidak
terwujud”
Dia mengangguk bahagia dan
tertawa terbahak-bahak.
0 komentar:
Posting Komentar