Mauka kau ku ceritakan sebuah kisah? Tentang perjuangan, tentang pendidikan, dan tentang Cinta. Ada banyak kisah yang kalian setiap harinya dapati di sekeliling kalian. Di jalan, di sekolah, di pasar, dan dimana saja. Kalian seperti di suguhi berbagai macam peruntungan-peruntungan yang tak bisa kita tebak, kenapa bisa begini? Kenapa bisa begitu? Semuanya hanya seperti puzzle yang memang harus kita susun, agar nampak indah. Begitupun hidup ini. Itu pilihan. Dan, pilihan itu ada di tangan kita.
Ketika hari di mana kegiatan yang ku habiskan tenaga dan pikiranku ke sana terkuras, terlaksana juga saat itu saya bertemu dengan orang-orang yang dulunya hanya biasa. Namun, kini. Mereka serupa kertas putih yang penuh dengan warna crayon.
Sambutan demi sambutan selesai. Giliran selanjutnya, seorang yang menamakan dirinya "Tidak Terkenal". Semua yang hadir, terdiam. Menunggu patahan kalimat-kalimat yang entah kali ini akan menggelakkan kami untuk tertawa lagi, ataukah...
"Saya ini tidak terkenal. Saya tahu itu. Sayapun bukan orang hebat seperti mereka yang ada di sisi kanan dan kiri saya. Namun, saya berasal dari tempat yang sama seperti mereka..." Dia terdiam sejenak. Mencoba mengatur napasnya, yang berat entah karena apa. Ini baru permulaan. Lalu mengalirlah cerita tanpa mengizinkan kami untuk beranjak dari perhatian yang tertuju padanya.
"Saya ini orang miskin. Sangat miskin. Keluarga kami kecil, dan juga penghasilan orang tua kami kecil. Makanya saya hanya bersekolah di sini dulu (MA DDI Alliiritengae Maros), karena tahun 1998, sekolah inilah yang paling murah. Paling jelek juga. Tanah sekolahnya masih tanah. Bangunannya juga tidak besar. Dan, yang paling miris adalah siswanya hanya 15-20 orang. Allahu Robbi. Untuk orang-orang yang berada dalam kalangan sangat kurang mampu seperti saya dan yang lain, sekolah ini menjadi penyelamat kami. Guru-gurunya juga mengajar dengan penuh keikhlasan.
Saya memiliki saudara lagi. Tak hanya saya di rumah itu. Ayah dan Ibu saya juga hanya sebagai Petani biasa. Suatu waktu, kami di uji. Saudara saya meninggal. Penyebabnya karena kelaparan. Itulah bukti kemiskinan keluarga kami. Kami tak punya apa-apa. Sangat miskin. Saat saudara saya ini meninggal, saya seperti kehilangan cahaya. Saya menjadi kalap mata dalam setiap sendi arus kehidupan. Saya menjadi siswa ternakal. Itulah saya dulunya. Saya bolos, saya tidak sungguh-sungguh belajar, saya malas dalam segala hal. Saya kehilangan arah. Seperti tidak pas dengan nama sekolah kami yang Madrasah, saya mencoreng nama sekolah dengan kenakalan-kenakalan yang ku buat dengan tanganku sendiri.
Ku pikir, mungkin kini tak ada lagi yang suka dengan ku. Namun, saya salah. Seseorang yang ku panggil Ayah, membuka jalanku. Dia bukan Ayah kandungku. Dia adalah Bapak Drs. H. Syamsuddin Ballu, M.Ag, yang saat itu masih berprofesi sebagai guru honor di DDI. Beliau memanggilku dengan baik-baik, bicara empat mata dengan baik-baik, mengajariku dengan baik-baik, dan berkata, "hidupmu itu akan berlanjut. Lalu, kenapa kamu merusaknya? Sampai kapan nak? Sampai kapan kamu akan seperti ini? Apa kamu tidak merasa kasihan pada kedua orang tua mu? Saya percaya kamu bisa lebih baik, Nak. Berubahlah dengan baik-baik. Kesempatan menjadi baik masih banyak". Percakapan itu menghasilkan resolusi. Saya pun berubah 360 derajat. Rajin sholat, rajin belajar, hingga lulus MA ini saya masih berharap menjadi baik. Belenggu hitam kehidupan ku lepas semua. Demi kehidupan yang harus ku ubah. Kehidupan keluargaku. Lalu, setelah MA saya melanjutkan kuliah di YAPIM dengan jurusan Bahasa Inggris. Setelah lulus dengan Hasil Yang Sangat Memuaskan, saya pun mendapatkan kesempatan melanjutkan S2 di UGM dengan konsentrasi Bahasa Indonesia. Itu semua kembali dengan Beasiswa. Alhamdulillah. Dan, kini saya telah menjadi Dosen di 9 Perguruan Tinggi di Makassar, menjadi wakil kepala sekolah di salah 1 Madrasah, dan juga telah memiliki keluarga kecil. Lalu, apa alasan kalian untuk tidak bangga pada Almamater kalian? Meskipun dia tidak setenar sekolah lain, tetaplah sekolah ini BERJASA UNTUK KALIAN DAN KITA".
Dan, Tahukah siapa dia yang saya maksud?
Inilah dia, Pak Mansur Gagga.. :)
Semoga, kita bisa menarik semangat dan pelajaran hidup dari Beliau. :)
Ketika hari di mana kegiatan yang ku habiskan tenaga dan pikiranku ke sana terkuras, terlaksana juga saat itu saya bertemu dengan orang-orang yang dulunya hanya biasa. Namun, kini. Mereka serupa kertas putih yang penuh dengan warna crayon.
Sambutan demi sambutan selesai. Giliran selanjutnya, seorang yang menamakan dirinya "Tidak Terkenal". Semua yang hadir, terdiam. Menunggu patahan kalimat-kalimat yang entah kali ini akan menggelakkan kami untuk tertawa lagi, ataukah...
"Saya ini tidak terkenal. Saya tahu itu. Sayapun bukan orang hebat seperti mereka yang ada di sisi kanan dan kiri saya. Namun, saya berasal dari tempat yang sama seperti mereka..." Dia terdiam sejenak. Mencoba mengatur napasnya, yang berat entah karena apa. Ini baru permulaan. Lalu mengalirlah cerita tanpa mengizinkan kami untuk beranjak dari perhatian yang tertuju padanya.
"Saya ini orang miskin. Sangat miskin. Keluarga kami kecil, dan juga penghasilan orang tua kami kecil. Makanya saya hanya bersekolah di sini dulu (MA DDI Alliiritengae Maros), karena tahun 1998, sekolah inilah yang paling murah. Paling jelek juga. Tanah sekolahnya masih tanah. Bangunannya juga tidak besar. Dan, yang paling miris adalah siswanya hanya 15-20 orang. Allahu Robbi. Untuk orang-orang yang berada dalam kalangan sangat kurang mampu seperti saya dan yang lain, sekolah ini menjadi penyelamat kami. Guru-gurunya juga mengajar dengan penuh keikhlasan.
Saya memiliki saudara lagi. Tak hanya saya di rumah itu. Ayah dan Ibu saya juga hanya sebagai Petani biasa. Suatu waktu, kami di uji. Saudara saya meninggal. Penyebabnya karena kelaparan. Itulah bukti kemiskinan keluarga kami. Kami tak punya apa-apa. Sangat miskin. Saat saudara saya ini meninggal, saya seperti kehilangan cahaya. Saya menjadi kalap mata dalam setiap sendi arus kehidupan. Saya menjadi siswa ternakal. Itulah saya dulunya. Saya bolos, saya tidak sungguh-sungguh belajar, saya malas dalam segala hal. Saya kehilangan arah. Seperti tidak pas dengan nama sekolah kami yang Madrasah, saya mencoreng nama sekolah dengan kenakalan-kenakalan yang ku buat dengan tanganku sendiri.
Ku pikir, mungkin kini tak ada lagi yang suka dengan ku. Namun, saya salah. Seseorang yang ku panggil Ayah, membuka jalanku. Dia bukan Ayah kandungku. Dia adalah Bapak Drs. H. Syamsuddin Ballu, M.Ag, yang saat itu masih berprofesi sebagai guru honor di DDI. Beliau memanggilku dengan baik-baik, bicara empat mata dengan baik-baik, mengajariku dengan baik-baik, dan berkata, "hidupmu itu akan berlanjut. Lalu, kenapa kamu merusaknya? Sampai kapan nak? Sampai kapan kamu akan seperti ini? Apa kamu tidak merasa kasihan pada kedua orang tua mu? Saya percaya kamu bisa lebih baik, Nak. Berubahlah dengan baik-baik. Kesempatan menjadi baik masih banyak". Percakapan itu menghasilkan resolusi. Saya pun berubah 360 derajat. Rajin sholat, rajin belajar, hingga lulus MA ini saya masih berharap menjadi baik. Belenggu hitam kehidupan ku lepas semua. Demi kehidupan yang harus ku ubah. Kehidupan keluargaku. Lalu, setelah MA saya melanjutkan kuliah di YAPIM dengan jurusan Bahasa Inggris. Setelah lulus dengan Hasil Yang Sangat Memuaskan, saya pun mendapatkan kesempatan melanjutkan S2 di UGM dengan konsentrasi Bahasa Indonesia. Itu semua kembali dengan Beasiswa. Alhamdulillah. Dan, kini saya telah menjadi Dosen di 9 Perguruan Tinggi di Makassar, menjadi wakil kepala sekolah di salah 1 Madrasah, dan juga telah memiliki keluarga kecil. Lalu, apa alasan kalian untuk tidak bangga pada Almamater kalian? Meskipun dia tidak setenar sekolah lain, tetaplah sekolah ini BERJASA UNTUK KALIAN DAN KITA".
Dan, Tahukah siapa dia yang saya maksud?
Inilah dia, Pak Mansur Gagga.. :)
Istri dan Anak Beliau |
Semoga, kita bisa menarik semangat dan pelajaran hidup dari Beliau. :)
0 komentar:
Posting Komentar