Dia berjalan menyusuri koridor Jurusan Matematika. Mencari yang namanya Pak Hamdah. Katanya dia di kampus, itu smsnya sejam yang lalu. Namun, entah di ruangannya, entah di lantai II, si Bapak gak nongol-nongol juga. Dia melihat ada Mahasiswa yang nangkring ajha di ruang tunggu dosen. Dia pun bertanya, "Maaf, mau tanya. Pak Hamdah datang gak hari ini?" Si cewek yang di tanya tersenyum, "Hehehe, nggak kak. Malas bapak datang". Ciuuuttt dehh itu semangat!!!
"Tapi kok tadi Bapak bilang lagi di kampus?" Batinnya. "Hmm, gua sms aja lagi ahh" Dan di ketiklah kata demi kata yang sangat sopan itu. Tak lama ada balasannya, hampir saja dia melonjak kegirangan karena ternyata si Bapak datang. "Ahh, setidaknya gua hemat ongkos lah untuk ke rumah si Bapak" Kehkehkehkeh!!!
Harapan menunggu masih menggebu-gebu. Sebelum dia mendengar suara si Bapak dari dalam kelas yang lagi ngajar, katanya pengen ngelanjutin diskusinya. Di panggillah keompok selanjutnya. "Laaamaaaaa" Mulai dah bosannya.. Hmfff!!!
Dia lalu teringat pesan dari si novel karya Donny Dhirgantro yang di peragain Kak Aya' sahabatnya, "taro semua mimpi lo, 5 cm di depan sini" Sambil jari telunjuknya di simpan tepat di depan dahi. Yahh, di berlakukanlah teori itu. Alih-alih ingin membuktikan teori tersebut.
"Hmm, harus bisa. HARI INI DAPAT TTD PAK HAMDAH DAN PAK HISYAM" Gumamnya dalam hati, mengikat kepercayaan yang di selimuti dengan keyakinan dan berbantalkan SEMANGAT. Aseekk!!!
Hasilnya? Berhasil. Dia akhirnya dapat TTD itu. Sambil nungguin temannya yang masih di periksa skripsinya yang telah di revisi di periksa sama Pak Hamdah, dia menunggu dan duduk di kursi tempat ruang tunggu mahasiswa itu. Dia melihat perempuan lebih dulu duduk di sana. Perempuan yang ia ingat wajahnya ketika sebelum Ujian Akhir itu tersenyum. Padahal mereka sama-sama akan Sidang. "Adem amat nih cewek, Tuhan. Pinter pastinya. Gurat cemas pun kagak ada di wajahnya" Hmm, katanya dalam hati waktu itu.
Kali ini dia melihatnya lagi. Mereka bersalaman sambil melempar senyum. basa basi pun terjalin. Maklumlah, mengatasi kecemasan seperti ini biasanya.
----------------------------- o O o ---------------------------------
Membuka buku warna kuning bersampulankan emoticon Smile. Halaman per halaman tanpa nomor. Lalu, mata itu berhenti pada 1 cerita.
----------------------------- o O o ---------------------------------
Membuka buku warna kuning bersampulankan emoticon Smile. Halaman per halaman tanpa nomor. Lalu, mata itu berhenti pada 1 cerita.
"Saya ingat sekali dek ketika saya pulang ke kampung saya yang dulunya di namakan kota bunga. Provinsi kita mencintainya yang sejuk. Lalu, semuanya hancur berantakan dalam pikiranku. Ketika adikku yang masih SD berbicara dengan santainya "Dehh, si A (teman ceweknya di sekolah) di pakai 3 laki-laki" Hatiku ikut miris. Dia menyeringai dan memandangku tanpa eksperi. "Aku tahu rasanya kak" Kataku.
"Lingkungan lagi-lagi membuatku marah. Tidak habis pikir. Ketakutanku sama sekarang. Aku memiliki adik. Aku tak tahu mendidik, tapi aku ingin mendidik." Pertanyaan pertama untukku yang Sarjana Pendidikan. "Bisakah kamu mendidik?" Bisikku dalam hati.
Dia kembali bercerita. Kali ini aku focuskan pikiranku. Focus. Focus.
"Aku ingat ketika pertama kali berjilbab, dek. Hanya sekedar memakainya karena Ayah yang memintaku memakainya. Waktu itu aku masih SMP. Ketika bersekolah aku memakainya. Pulang, yah lepas lagi. Ayah bilang saya bisa tidak memakai jilbab tapi tidak ada yang sekolah. Ayahku memang hanya petani. Tapi, dia Sarjana. Dia begitu mencintai pendidikan. Kenapa dia menjadi petani? Dia memilih itu dari pada harus menjadi PNS karena SOGOK. Toh dengan menjadi petani, beliau juga bisa menghidupi kami. Lalu, ketika saya melepaskan jilbabku di rumah, kamu tahu apa yang ayah saya bilang?" Tanyanya.
Aku menggeleng.
Beliau bilang, "Segitu gampangnya kamu mempermainkan Agama. Kamu memakai jilbab hanya ketika kamu mau lalu kamu melepasnya lagi ketika mau. Agama bukan hal yang mudah kamu permainkan. Kalau kamu berjilbab, Ayah juga terbebas dari dosa". Ku lihat embun itu di sudut matanya.
Setiap ingin mengerjakan PR, Tugas, atau apapun itu yang di rumah teman ayah akan mengantarku. Jadi, beliau tahu kegiatanku. Ini bukti bahwa beliau menjagaku dan tidak percaya pada lingkunganku. Aku menikmatinya begitu saja. Ketika pendaftaran SMA, ayah diam-diam mendaftarkanku di sekolah yang terbilang terkenal dan elite. Aku menolaknya karena pembayarannya cukup mahal. Namun, ayah bilang "Kamu sekolah saja. Tugas kami hanya membiayai kamu. Daftar, dan tunggu pengumumannya. Kalau memang lulus, artinya rezeki kamu memang sudah di tentukan". Setelah itu pengumuman pun keluar. Aku lulus. Ayah memintaku mengemas pakaian. Aku bingung untuk apa. Jarak sekolah dan rumahku di tempuh dengan perjalanan 3 jam. Setelah sampai di sekolah itu, aku baru sadar kalau ternyata sekolah itu ber-asrama sementara aku dulunya menolak masuk pesantren karena berasrama. Aku mencoba mencari cara agar ayah mau memulangkanku. Trikpun ku lakukan. Berbagai macam jurus. "Ayah, kalau ayah mengasramakanku, aku justru lebih bebas ayah. Aku akan kemana saja tanpa sepengetahuan, Ayah. Lalu, teman-temanku juga tidak semuanya orang baik. Apa ayah tidak takut" Kataku mencoba menawar-nawar naluri kebapakannya. Ayah hanya melihatku dan berkata, "Kamu sudah besar. Kamu sudah tahu apa yang baik dan yang buruk. Ayah percaya sama kamu". Dan, itulah kenapa aku percaya bahwa KEPERCAYAAN itu MAHAL.
Itulah kisahku dengannya.
Tentang teman baruku.
"Kak saya harus pergi. Bisa minta nomor kakak?". Kami tukeran nomor dan, "Sari" Sembar tersenyum dan membalas jabatan tanganku. Aku tersenyum, "ULFA kak". Salam mengakhiri pertemuan kami. Siapapun kamu kak, TERIMA KASIH. Semoga Allah menjagamu selalu.. Aamiin Ya Allah. Inilah tulisanku untukmu kak. Kelak, aku berharap kamu baca. :)
0 komentar:
Posting Komentar