"Raisa"
"Saya Syahidah. Anda relawan?"
"Ya, benar. Dari Makassar"
"Saya juga dari Makassar hanya saya perwakilan Sidrap"
"Oh begitu?"
"Yapp.. :)"
Raisa adalah teman baru ku di sini. Kami sama-sama relawan dari Makassar yang di kirim ke Jogjakarta sebagai relawan untuk bencana alam gempa yang menewaskan ratusan orang itu. Inilah pengalaman pertama kami menjadi Relawan di lokasi bencana alam sungguhan. Di sini, ada banyak orang yang menjadi relawan yang juga berasal dari berbagai macam daerah. Kami seperti Putra/i daerah yang datang untuk sedikit melupakan kenikmatan hidup di tanah asal untuk sebentar saja menghirup udara di bagian Bumi Allah yang kini sedang di uji.
Hari demi hari kami lewati bersama. Raisa seorang mahasiswi pendidikan sementara saya sudah menjadi seorang dokter. Perbedaan ini menjadikan kami tidak selalu bersama dalam setiap kegiatan karena saya berpusat pada pasien-pasienku, dan Raisa lebih fokus pada pemulihan psikologi anak-anak yang masih trauma karena gempa.
Siang itu, temanku sesama dokter dari Sidrap baru tiba di lokasi bencana dengan membawa berbagai macam obat-obatan. Ku ambil 1 vitamin untuk Raisa karena beberapa hari ini, gadis itu nafsu makannya menurun sementara waktu istirahatnya pun sangat kurang. Ketika saya memberikannya vitamin, Raisa jatuh pingsan. Sontak kami sesama relawan panik bukan kepalang. Melihat kami sudah kekurangan personil, kami tentu takut kalau Raisa pun harus jatuh sakit. Dia banyak membantu dan meringankan kesulitan-kesulitan yang kami hadapi selama di tanah lumpuh ini.
"Bagaimana keadaannya?" Tanya Haris. Dia ketua rombongan kami dari Makassar. Wajahnya menyiratkan kalau dia benar-benar khawatir dengan keadaannya Raisa. "Alhamdulillah, dia gak papa. Hanya sedikit kelelahan kayaknya. Bang Haris kenapa khawatir gitu?" Godaku pada Haris.
"Hahaha.. Wajar lue jadi dokter, habisnya Pintar sih, tahu saja kalau gue khawatir"
"Yah, tahulah bang. Wong itu keliatan kok" Saya sudah seperti psikiater seketika.
"Eh, lue kan deket ma ini anak? Mau bantuin gue?" Tanya Bang Haris serius.
"Wuidih.. Jangan bilang Bang Haris minta gue jadi mak coblang, Bang"
"Nnnaahhh.. Itu lue tahu. Mau nggak? Mau yah! Mau yah!" Saya sendiri sampai kaget dengan gencatan Bang Haris.
"Gak janji Bang ye, gue usahain insya Allah" Sambil melangkah pergi meninggalkan Bang Haris dan Raisa yang masih tertidur.
****
"Mbakk, Mbaakk" Raisa membangunkanku di sepertiga malam.
"Kenapa, Sa? Mau tahajjudan?"
"Sudah mbak. Saya lagi gak bisa tidur ini. Saya pengen pulang"
"Hah? Kenapa? Kamu ada masalah?"
"nggak mbak. Saya gak senang dengan Bang Haris. Bikin saya illfeel. Masa tadi sore dia sms saya, minta ke tendanya para tenaga kesehatan. Mbak tahu apa yang terjadi? Dia bilang dia suka sama saya mbak, malahan dia pengen saya jadi pacarnya. Ahhh, mbaakkk.. Aku gakk mau mbakk"
"Ya kamu tolak ajha kan bisa?"
"Sudah mbak, tapi dia malah sms lagi barusan. Bilang gini "Aku bisa membuatmu jatuh cinta padaku meski kau tak pernah mencintaiku. Biar saja waktu yang akan menjawab semua padaku"
"Hahahaha.. Itu mah lagu"
"Iyya, tapi mewakili perasaannya mbak"
"Sudahlah dekk, gak usah di gubris. Kamu jangan pulang kalau hanya karena Bang Haris. Ingat, niat kami ke sini murni karena Allah. Jangan rusak itu"
"Hmm. Baik mbak" Tegas Raisa.
Kami kembali tidur. Esoknya, akan banyak sekali yang harus kami kerjakan.
****
Pagi yang indah untuk sebuah Bumi yang telah terkoyak karena guncangan gempa yang Dahsyat. Meluluh lantahkan rumah-rumah yang menjadi tempat berlindung mereka, menghabiskan sekolah-sekolah yang telah bertahun-tahun berdiri. Menimbun segala tumbuhan yang tumbuh subur dengan hijau. Menyisakan purakan bangunan yang rata dengan tanah, tenda-tenda yang berdiri kokoh dengan segala kekurangannya, dan memberikan rasa trauma untuk adik-adikku yang hingga saat ini belum mampu aku dan teman-teman relawan lain sembuhkan. Kami masih kalah dengan Gempa.
Karena rasa bosan, ku langkahkan kaki ku menuju hutan kecil yang tersisa di belakang posko kami. Di hutan yang kecil ini, aku mengirup udara yang segar sekali. Aku seperti merefresh udara di paru-paru ku yang sudah 2 pekan ini mengjrup udara korban bencana alam yang merintih sakit, kelelahan, dan semua keluhan-keluhan hampir tiap detik selalu berbeda.
Langkah demi langkah ini ku iringi dengan senandung lagu dari Irfan Makki, Palestine yang ku putar dari Music Handphone ku. Tiba-tiba ku dengar seseorang meminta tolong yang tidak ku tahu di mana asalnya. Masih mencari-cari tapi masih suara itu samar-samar.
"Tolong, tolong, tolong. Saya di bawah sini" Teriakan itu semakin jelas. Aku melihat ke arah sumber suara dan ternyata dia seorang gadis kecil berusia 8 tahun-an. Dia berada 3 meter di bawah tempatku berdiri. Kakinya terluka sehingga sulit baginya untuk berusaha naik tempatku.
"Tunggu ya, dik. Saya akan cari tali untuk menolong kamu"
Tidak lama. Hanya 2 menit untukku menemukan tali.
"Tangkap" Teriakku padanya.
"Kak, gak bissa..kakiku sakiitt" Anak itu merintih.
"Coba sedikit sayang, nanti kakak akan meraih tanganmu dan mengangkat kamu. yah, coba lagi sayang yah"
Anak itu mencoba dengan sekuat tenaga. Alhamdulillah, aku bisa meraih tangannya. Namun, ternyata tenaga ku terlalu lemah untuk mengangkat anak itu ke atas. Masih ku coba tapi semakin sulit rasanya.
Tanganku sudah tak sanggup lagi. "Jangan lepaskan aku kak. Aku takut kalau terjatuh lagi" Gadis itu menangis sambil terus berusaha mendorong tubuhnya naik. "Tidak sayang. Kakak tidak akan melepaskan kamu. Kita sama-sama berusaha ya!". Tangan kami masih saling menggenggam, saling tarik-menarik, dan sepertinya justru malah tubuhku yang ikut tertarik turun. Tiba-tiba ku rasakan tubuhku di sergapi rasa takut yang mencekam. Bagaimana jika anak ini terjatuh, atau aku yang terjatuh? Tanganku semakin lemah dan akhirnya aku terseret turun juga hingga hanya kaki ku yang menahan tubuhku dengan ku tancapkan kakiku di akar pohon. Lalu tiba-tiba, sebuah tubuh menyergap di sampingku. Aku tidak bisa melihat siapa pemiliknya. Aku hanya merasakan lututku perih. Mungkin celana gunungku sobek karena seretan tanah yang mengering.
"Tahan dek. Tahan"
Mati, siapa itu? Dia laki-laki? Ya Allah.
"Anda siapa?" Tanyaku penasaran.
"Apa perlu saya menjelaskan? Tetap genggam tangan anak kecil itu. Saya akan mencoba menarik kalian"
"tapi, saya.. aahhhh" Aku merasakan tubuhku terhempas keras di tanah. Rasa sakit seketika menyergap di sekujur tubuhku, terutama di kakiku.
"Kamu gak papa?"
"Bagaimana mungkin aku tidak kenapa-kenapa kalau aku sudah terjatuh dalam jurang ini? Sudahlah. Jangan hiraukan aku. Pergilah. Bawa anak itu lalu obati. Aku bisa menolong diriku sendiri"
"Tidak.. Aku gak mau ninggalin kakak.. Pokoknya kakak harus naik bersamaku" Anak kecil itu berkata seperti dia paham betul tentang kasih sayang. Makasih dek.
"Ayo, raih tanganku" Perintah laki-laki tadi. Bagaimana ini Ya Allah? Bagaimana?
Ahh, sudahlah. Dan, aku berusaha keras bangkit dari pembaringanku menuju arah tangan laki-laki itu. Siapapun anda, terima kasih dariku karena telah menolong gadis kecil itu dan juga aku.
Lalu ku raihlah tangan itu. Dengan sekuat tenaga laki-laki itu menarik tanganku dan akhirnya aku bisa ia raih. Namun, sialnya aku mendarat tepat di sampingnya. Tangannya masih menggenggam tanganku. Aku masih belum bisa menggerakkan kaki ku karena kini sudah terluka. "Makasih" Kataku lirih padanya.
"Sama-sama" jawabnya Singkat.
****
"Bang Haris, pinjam kameranya dong..."
"Niihh.." Sambil Haris menyodorkan kameranya.
"Astaghfirullah, Bang. Ini apaan Bang?"
Semua relawan berkumpul ke arah Ismi yang melihat sesuatu yang tidak wajar di kamera Haris. Termasuk Haris sendiri mencoba melihatnya.
"Astaghfirullah. Itu siapa Ris?"
"Itu Kak raisa dan dr.Indra kan bang?" Tanya Sistah.
"iiittuu..buukkaann" Haris dengan gagap menjawab.
"Begini teman-teman. Ini tidak seperti yang kalian pikirkan. Saat itu dr.Indra nolongin Raisa yang jatuh ke jurang. Ini semua ketidak sengajaan. Murni. Saya saksinya. Masalah saya ngejepret sebenarnya bukan untuk kejadian ini tapi proses dr.Indra nolongin Raisa. Tapi pas saya ngjepret malah pas ketika raisa sudah mendarat di sisi sang dokter"
"tapi, itu tetap salah Haris. Mereka harus menikah"
"Apaa?" teriak para relawan.
"Bang, kenapa jadi ekstrem begini sih?"
"Masalahnya gini Ris. Foto2 yang di kamera lue itu dah gue save di laptopnya Firman sebelum balik ke makassar tadi. Otomatis, itu dah tersebar. Dari pada jadi Fitnah, mending mereka kita nikahin ajha"
"Ini gak mungkin" Haris merasa ini adalah kekacauan yang di sebabkan olehnya.
2 hari setelah kejadian mencenangkan kamera itu, Raisa semakin terpuruk. Dia tidak keluar tenda selama 2 hari pula selain untuk makan, sholat, dan mandi. Hanya itu. Pikirannya berat dengan permintaan kawan-kawannya untuk menikah dengan dr.Indra. Menikah karena kejadian yang tak dimintanya.
Kelelahan mulai menghampiri keduanya, hingga benar-benar membuat mereka Pasrah.
"Baiklah" Jawab Raisa.
Akad Nikahpun di laksanakan di tenda darurat dengan mas kawin cincin emas milik dr.Syahidah yang ia berikan pada Raisa sekaligus sebagai hadiah pernikahan. Akad-Nikah yang dilaksanakan tanpa orang tua Raisa. Konsep pernikahan yang sudah ia pikirkan dulunya, kini hanya di laksanakan di tenda darurat. "Sial banget nasib pernikahanku" Rintihnya dalam hati. "Kalian berbincanglah dahulu. jadikan moment ini untuk mulai menjajaki diri masing-masing" Pesan Ustad Rohim, yang telah menikahkan mereka.
"Kini, hanya kita berdua di dalam tenda ini. Tanyalah yang ingin kamu tanyakan dan sampaikanlah yang ingin kamu sampaikan" dr.Indra sendiri bingung sikap apa yang harus dia tampakkan dengan istrinya kini.
"Mas bisa menceraikan aku kapan saja mas mau. Itu hak mas! Kita sama-sama tidak mengharapkan pernikahan ini. Maaf pula aku telah membuat pernikahan pertama mu hanya berupa kejadian karena pra-duga salah orang-orang.. Mas bisa menceraikan aku kapan saja. Bahkan sekarangpun aku tak masalah" Raisah menelan ludahnya sendiri. Sakit. Hatinya kali ini benar-benar berbohong. "Apa aku mencintainya? Hmm, Ya. Aku telah mencintainya hanya dalam waktu 3 detik ini"
"Ya, aku bisa melakukannya sekarang juga. Tapi, meskipun aku belum mampu mencintaimu, aku akan mencobanya. Asalkan kamu mau membantuku untuk mencintaimu dengan juga belajar mencintaiku". Diam, hening. "Tentu. Tentu, aku mau" jawab Raisa dalam hati.
2 komentar:
nah ini baru kerennn... pake buanget.. meski pertamax agak tidak terarah tapi ujungx keren.. jadi ingat aku juga pernah nulis ttg relawan waktu misi kemanusiaan ke aceh dulu..haha.. teruskan..akan lebih menarik jika dimasukkan juga ttg keseharian merawat pasien dan aktivitas lain yg dijalankan spanjang diposko.. tak menghalangi jln cerita "cinta sederhana a.k.a nikah darurat" namun akan lebih informatif dan penasaran urg..
keep it up sistah
Sebenarnya kemarin mauka tanya sama qta ttg ilmu medis cuma karena qta lagi sikon nda memungkinkan,jadinya sya paksa saja untuk buat sesederhana bagaimanapun itu..hehe!!!
Tetap jga komentarika nahh kak, :)
Posting Komentar