Jumat, 04 Januari 2013

Hujan di Ufuk Fajar

di Januari 04, 2013
Kumadang Azan Subuh memekikkan rasa kantuk yang masih mengelus-elus mataku yang berat. Ku kucek-kucek sembari hati mengucapkan syahadat berkali-kali. Namun sepertinya karena keletihan, tubuhku pun tak bisa merespon suara Azan dengan cekatan untuk bangkit dari rasa kantuk. Namun, kewajiban sebagai hamba menari-nari dalam otak.
"Astaghfirullahal Adsim.. Bisa tidak waktu subuhnya di undur beberapa jam lagi?"
Suara genting yang ribut di terpa air hujan di pagi hari ini menambah keengganannku untuk segera bangkit. Ku tarik selimut lagi sampai menutupi wajahku. Sempat tertidur lagi sampai suara Iqamat Mesjid kembali bersenandung dan dengan berat, sangat berat, ku paksa mataku melek. "Ayyo, Fa. Bangun" Mencoba untuk menyemangati diri.
Masih ku terbenam dalam sajadah, tangan masih memegang tasbih, sambil mata berusaha keras untuk tidak tertidur. Lagi, dan lagi aku kalah. Badanku kembali terhuyung ke Sajadah, lalu ku perbaikilah posisiku untuk mempersiapkan diri tidur kembali. Asik-asik tertidur, pintu kamarku terbuka.
Kiiikkk..Ciuutt..suara engsel pintu itu menandakan sebentar lagi pasti aku di paksa bangun. Ahh, mengganggu ini.. Mengganggu. T.T
"Uppa,di panggil mama aji" Kata ponaanku.
Ooh, cuma Misbah.
"Iyya dek. Masuk duluan. Saya bersihin kamar dulu" Alasanku pada makhluk kecil yang kini berada di atas kepalaku.
"Tapi di panggil mama aji" Hadeuh. Cerewet nih anak 1 Tuhan. Aish,
"Iyya. Saya bersihin kamar dulu"
"Uppa tidur. Ku kasi tau mama aji"
*Glluuppp
"Ehh, tidak. Nda tidur. Tadi baring saja. Gak tidur" Alasanku benar-benar tak ubahnya di tahan karena sebentar lagi emosiku  akan memakannya habis seperti monster.
Dan, aku pun masuk ke dapur.
"Eh, beli terigu gih di warung" Perintah kakakku. Dasar, ibu sama anak sama aja. Pagi ini ganggu bangeett!!!
"Masih hujan di luar. Deras sekali pula" mencoba mencari alasan agar bisa kembali tertidur.
"Kan ada payung. Noh, ambil payungnya Bapak yang paling besar"
Iya, benar. Ada payung. Gitu aja kok repot!
Ya sudah. Ku paksakan rasa malasku untuk bersembunyi sebentar di kamar. Tunggu aku pulang dari warung, kita akan bersama lagi wahai rasa malas.

Ku buka payung lebar-lebar, sambil memperbaiki jilbab, ku terobos hujan deras ini.
Yang ku lihat, jalan benar-benar basah. Bahkan sudah ada beberapa genangan air setinggi lutut. Hanya setinggi lutut bebek.
Air hujan yang turun kali ini benar-benar indah. Jalan yang lengang ini, menambah keindahan desa ku yang sederhana. Saluran irigasi air seperti di bersihkan dari airnya yang telah tercemar. Dengan air hujan, irigasi kini berairkan jernih, sejernih mataku yang menatap air hujan ini.
Ku ulurkan tanganku untuk menyentuh air hujan pagi ini, dan ku rasakan kesegarannya menyusup-nyusup ke jiwaku. Betapa nikmatnya NikmatMu ini Ya Allah. Bagaimana Kau bisa membuat sesuatu yang indah dan sempurna seperti ini? Benar. Terlalu bodoh jika ingin menaffikkan kekuasaanMu yang Maha Dahsyat.

Langkahku tiba di depan warung. Ternyata di sini sudah banjir.
Ku angkat celanaku agar tak basah. Aku masuk di warung dan membeli yang ingin ku beli. Terigu.
Selesai transaksi, aku kembali berjalan untuk pulang. Kembali aku memainkan jariku di air hujan yang deras itu. Ku lihat dari jauh, sebuah gunung yang kini gambarnya samar-samar karena tertutupi hujan yang deras pagi ini. Andaikan Negeriku ini di berikan kenikmatan hujannya berbubah jadi Salju maka akulah warga negara pertama yang akan banyak bersyukur. Karena aku tak perle bermimpi jauh untuk keluar negeri. Alasan untuk kuliah, padahal hanya ingin merasakan hidup di negeri yang tertutupi salju.
Aku ingat saat kak Asiz telpon, dia bercerita tentang Jepang.
"Rumah kakak ini strategis banget dek tempatnya. Cocok buat Ulfa yang suka menulis. Di depan rumah kakak ada sebuah pohon Sakura yang bisa kita lihat dari jendela. Di sisi kanan rumah kakak ada danau, yang di depannya ada pohon pula. Di bawah pohon itu ada kursi yang melentang panjang, dan sangat pas suasananya utnuk mencari imajinasi." Dari cerita kak Asiz itulah aku banyak berkhayal tentang suasana salju yang bisa memberiku banyak inspirasi untuk menulis. Indah sekali.
Namun, bukan berarti karena aku mendambakan Salju maka aku akan melupakan Hujan. Tidak. Tetaplah aku menyukai Hujan. Selalu orang memaknai Hujan dengan sesuatu yang menyedihkan. Namun, aku selalu tersenyum ketika Hujan tiba. Di sanalah aku bisa menikmati waktuku sendiri, bersama hembusan nafasku yang tak terhitung lagi, aku menyemai indahnya kenikmatan hidup yang Allah berikan padaku. Bersama hujanlah pula aku pernah bermain bersama sahabat-sahabatku.
Saling memecihkan air hujan di tubuh masing-masing ketika menemukan genangan air di jalan.
Lalu, kemudian saling berpelukan. Merasakan indahnya persahabatan dengan hujan. Hujan itu simbol keberkahan. Meskipun Hujan secara ilmiah adalah sebuah presipitasi berwujud cairan,namun aku selalu melupakan tentang pengertian ilmiahnya. Aku lebih senang menganggap hujan itu adalah siraman air surga dari Allah. Para Bidadari surga di minta Allah untuk menyirami Bumi agar manusia bisa merasakan keberadaan Allah di setiap tetesan Air Hujan. Itulah hakikat Hujan menurutku. Makanya, aku mencintai Hujan. Sangat menyukai kehadirannya. Tetaplah Hujan. :)
"Weeehh..apa mu bikin di situ berdiri nah? Cepatko. Terigguuu" teriak kakakku.
Ya Allah, ternyata saya lama sekali berkhayal di sini. Di sisi jalan samping rumah. Celanaku telah basah karena hujan. Ckckck!!! Mengkhayal memang pekerjaan paling indah. Yah, akulah sang pemimpi. Hihihi. Tetaplah bermimpi Ulfa. Kalau semua yang kau impikan tak terwujud, setidaknya kau pernah bermimpi. :D




0 komentar:

Posting Komentar

 

Lyu Fathiah Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review