Hai hati, bagaimana kabarmu?
Masihkah kau risau?
Ataukah kau kini sedang mempelajari senyuman dalam kelebat embun?
Hai, janganlah kamu memainkan tokohmu yang kini masih menggeser rasa tenangmu. Berbahagialah. Meski itu hanya kamu dan dinding kamarmu yang tahu.
*Plaaakkkk
Masihkah kau risau?
Ataukah kau kini sedang mempelajari senyuman dalam kelebat embun?
Hai, janganlah kamu memainkan tokohmu yang kini masih menggeser rasa tenangmu. Berbahagialah. Meski itu hanya kamu dan dinding kamarmu yang tahu.
"Seperti kemarin dan kemarin, Nam. Aku masih saja merinding ketika sebuah kalimat menyerangku kembali. Pertanyaan yang selalu sama akan mendapatkan balasan yang sama" Menjelaskan kembali bagaimana risaunya.
"Hahahaha,sudahlah. Kamu itu terlalu bodoh. Sudah tahu kamu memiliki takdir yang di bawah ketiak Ayah, masih juga bertanya dan berusaha. Kamu ini memang mencoba tangguh, tapi kamu tak sekuat logam. Kamu itu rapuh. Kamu tahu itu?" Seperti membangunkanku dari ketidaktenangan mata yang senantiasa mencari cahaya perubahan.
*Plaaakkkk
Sejak kapan aku mulai tidak merasakan perih di mataku? Sentuhan keras di hatiku takkan bisa menggantikan bagaimana kecewa menjadi pertahanan terkuatku untuk hidup dalam kubangan masa remaja yang kelabu. Bahkan jika hantaman batu di dada pun takkan bisa menyamainya. Selalu menikmati gambar teman yang penuh kupu-kupu, tapi aku sendiri memiliki mimpi yang tak bersayap. Kalaupun menjadi seorang Perempuan seperti sekarang orang kenal, aku hanyalah seorang remaja yang beranjak dari pemberontakan besar dengan merangkak. Tertatih terus hingga lutut bisa di katakan berdarah namun tak berwarna.
Kembali lagi di hari kemarin. Kemarin dari kemarinnya aku merintih kecewa dengan tulisan hidupku.
Kepada Lauh Mahfuz kah aku mengeluh? Kepada Ayah kah aku meminta kebijaksanaannya yang Mahal? Atau pada diriku yang terlalu bodoh, membiarkan diri hidup dalam ketaatan yang mengakar hingga rasa takut menjadi teman sejati. Rasa segan menjadi suami. Dan, rasa bersalah yang akan mengantarkanku menemui tangisan perihku. Di hatiku teriris lagi. Waktu itu.
Selalu begitu.
Saat aku duduk di beranda rumah, hapeku berdering ceria.
Ku buka inboxku, dan tersenyum melihat nama itu.
"Hihihi,aku tahu kamu rindu denganku kak" Bisikku dengan hati yang merana.
"Jalan yukk.. Besokk!!!" Katanya.
"Waahh, kemana kak? Mauu.. Tapi mudah-mudahan dapat izin"
"Apajii?? Paccee.. (red:payah)" Katanya. Entah dia kecewa memang atau ingin menguji rasa bersalahku yang begitu gampang di jamah.
Ini yang kesekian kalinya.
Lalu, terjadi lagi saat yang lain melakukan hal yang sama.
"Eh, kapan ketemuan. Kangen" Katanya.
"Aku juga. Sangaatttt"
"Ya, makanya jalan yukk.. Kau nih betah amat di rumah. Kau gak di pingit kan?"
"Ah, nggak. Biasalah. Izinku masih tertutup dalam sumur tua" Jawabku terus terang.
Sudah bukan lagi alasan yang lazim ku keluarkan.
Bahkan mereka yang mengenalku sejak dulu mungkin sudah bosan dengan alasanku yang selalu mengandalkan PERIZINAN. Padahal sebenarnya, AKU MALU jika harus memberitahukan mereka tentang keadaanku. Begitu MEMALUKAN. Sejak aku mengerti arti PERSAHABATAN, aku sudah menggunakan layout kehidupan yang tersangkut urusan PERIZINAN.
Dan, lagi aku mengatakan kalau aku baik-baik saja. Aku bahagia. Meski ketika ku lihat mereka bercanda bersama dalam gambar yang di tujukan padaku, hatiku seperti teriris sembilu.
"Aku juga mau seperti kalian. Mau sekali"
Ketika kesempatan tentang kebersamaan dari tempat lain tiba, tak ku hiraukan lagi perizinan itu. Ku hantam lagi jalan keluar termanjur. KABUR. Meski aku harus menghadapi hempasan angin topan pun saat pulang, aku tak peduli. Mekipun, masih saja Ayah mau memaafkanku. Saat itu, aku berjanji. "Aku tidak akan mengecewakan, Ayah. Meski jalanku menuju sukses begitu meletihkan sarafmu, Yah. Menahan anak yang keras kepala sepertimu. Inilah anakmu. Belajar dari kerasnya perhelatan lalu lintas di otakmu. Bahkan hebatnya aliran kehidupan di kampuspun, aku masih menghadapinya dengan 1x menangis saja. Setelahnya, aku mengeringkan hatiku yang tak pernah basah lagi sampai pada akhirnya aku membaca mataku yang penuh kemunafikan". This is your, Destiny. Kamu harus melewatinya. Jalankan. Meskipun akhirnya kamu akan mati dalam jalannya, anggaplah kamu sedang gugur dalam acting yang BODOH. Kebodohan menjadi sahabat terbaikmu.
Saat itu, Ayah memblokir seluruh keuanganku. Dan, aku pun mencari pekerjaan. Tapi semua membutuhkan keterampilan dan kecerdasan. Aku tak memilikinya. Aku tak terlatih selain MENGELUH dan MEMBERIKAN TEMPAT TERNYAMAN BUAT ORANG LAIN DI PUNDAKKU. Itu bisa ku lakukan. Bahkan aku bisa mengaAHLIkan diriku di bidang ini.
Seorang SAHABAT pun mengatakan padaku, "Pekerjaan apa yang cocok untuk ORANG BODOH, Fa?" Katanya.
Aku terhempas. Tersungkur kembali. Sadar Ulfa. Kamu tak seceerdas dirinya yang menyadari kelemahanmu. Ckckck, aku pun terkekeh sendiri. Benar. Kamu butuh orang lain. Minimal untuk menyadarkanmu yang selama ini tertidur. "Okke" Balasku.
Lalu, tadi lagi.
Seorang Sahabat melihat kebersamaanku dengan teman lain di sebuah tempat.
"kalau jalan sama yang lain BISA, tapi sama kami TIDAK"
Aku harus menjawab apa? Berapa kali aku harus KABUR hanya untuk menyenangkan kalian dan juga menyenangkan hatiku yang terlampau beku?
Aku bingung SAHABAT. Aku bingung. Aku pun mau sebebas kalian. Tapi aku tak bersayap. Aku patah sebelum aku lahir dengan gemintang di kepalaku yang membuat orang bangga padaku.
"HARUSKAH AKU MENJELASKAN PADA MEREKA BAGAIMANA KERASNYA HATIMU MELEWATI SEMUA ITU? MENAHAN PERIHNYA KESEPIAN. MENAHAN SAKITNYA KEINGINAN YANG TAK BISA TERWUJUD. HARUSKAH AKU MEMBUKA MATA MEREKA LEBAR-LEBAR BETAPA INGINMU JAUH LEBIH BESAR DARI MEREKA?"
"hhahaha, tidak perlu. Nam. Cukup aku menutup PINTU persahabatan agar tak ada lagi yang kecewa dengan tangan takdirku. Agar tak ada lagi yang kebosanan membaca alasan-alasanku yang memualkan perut. Cukulah kamu mau menjadi Sahabatku, Nam. Sahabat dalam khayalku. Yang menemaniku bermain dalam anganku sendiri. Aku akan memanggilmu ketika ku butuh karena sulit menemukan teman sepertimu. Teman yang bisa ku buat sendiri agar tak kebosanan mendengar keluhku" Dalam tulisanku aku memainkan perannya.
"Tenang saja. Aku akan terjaga. Bahkan ketika kamu akan menangis karena mereka yang kau rindukan, aku akan menghalaunya dengan humorku" Candanya. Aku tersenyum paksa. Hatiku kembali teriris.
0 komentar:
Posting Komentar